SABAR BERBUAH BAHAGIA



Tidak sulit bagiku bisa mencari kisah apa yang bisa kutuangkan dalam bentuk cerita pada lomba menulis “Blog#Sabar-Afgan”. Walau sebenarnya, jujur saja aku sendiri tidak begitu pede dengan kisah yang akan kuangkat ini. Soalnya, biasanya apabila tema yang dikehendaki diambil dari sebuah lagu berlirikkan cinta, pastilah akan lebih pas nampaknya bila kisah yang menyertainya adalah juga bekisar seputar itu.

Aku yakin, pasti akan banyak orang yang menceritakannya. Karenanya aku ambil dari sisi yang lain tentang sebuah kesabaran. Kesabaran dalam menyimpan keinginan sekian lama untuk bisa sekolah kembali karena ingin lebih mengedepankan kepentingan keluarga, suami dan anak-anak. Hingga akhirnya berbuah jalan yang begitu terbuka lebar saat suami memberikan lampu hijau dengan turunnya SIM (Surat Ijin Menuntut ilmu). Hehehe.......

Aku akan coba persingkat waktu sekian tahun kesabaran dengan menuangkan perjalanan hidupku itu dalam kertas yang hanya terdiri dari beberapa alinea.

Kita mulai kisahnya......

Saat itu aku masih mengajar di salah satu Taman-Kanak-kanak di kotaku. Ketika adanya peraturan pemerintah yang mengharuskan seorang guru TK berpendidikan minimal S1 (sedangkan aku hanya lulusan DIII) sedikit banyak  mendorongku untuk bersekolah kembali. Tapi, mengingat ketiga anak-anakku masih kecil, yang paling besar saja masih sekolah SD, belum lagi aktivitasku di tempat kerja, rasanya kok ya susah untuk bisa kuliah. Apalagi suami  belum memberikan ‘lampu hijau’. Alasannya bisa dipahami, sebagai seorang ibu dengan tiga orang anak kecil yang masih membutuhkan perhatian, dan pekerjaan rumah tangga yang segala sesuatunya dikerjakan sendiri tanpa bantuan pembantu/baby sitter, belum lagi pekerjaanku di sebuah radio swasta, maka akan menjadi begitu berat bila kemudian harus menjalani peran lainnya. Dan aku sendiri pun menyadari, berperan ganda bukanlah hal yang mudah. Menyadari itu, sejenak kutanggalkan keinginanku ini.

Kehidupan kujalani tetap seperti biasa. Perhatianpun mulai kualihkan pada profesiku sebagai seorang penyiar. Acara yang kupandu ini adalah notabene acaranya ibu-ibu. Nama acaranya adalah JELITA. Singkatan dari Jendela Informasi Wanita. Membahas segala hal, dari mulai anak-anak hingga rumah tangga, dari mulai urusan pibadi hingga ekonomi, dari urusan dunia hingga masalah agama. Beragamnya materi yang harus disampaikan, membuatku lebih ‘ngeh’ dengan dunia membaca dan buku-buku. Kebetulan sekali, suamiku suka sekali membeli buku-buku yang isinya sangat bagus serta menarik. Salah satu temannya adalah seorang penulis sehingga otomatis informasi buku-buku yang bagus dan terbitan baru lebih mudah didapatkan.

Semakin hari semakin banyak para pendengar yang melayangkan pertanyaan di acaraku tersebut. Dari mulai masalah pribadi, keluarga hingga agama. Beruntunglah, keberadaan internet dan sedikit apa yang kubaca selama ini amat sangat membantu. Sehingga pertanyaan relatif bisa kujawab. Tapi seringkali aku dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang amat berat untuk kapasitas keilmuanku saat itu, terutama kalau pertanyaan yang diajukan adalah seputar agama.

Bukan sekali dua kali saja aku menjawab tunda pertanyaan untuk mencari jawaban yang tepat dari sumber buku-buku yang ada di rumahku atau bertanya pada ustadz/ah di majlis taklimku. Acapkali  hal itu pun membuatku  sampai harus  menenteng-nenteng buku tebal dari rumah ke studio. Bagiku, bobot pertanyaan agama jauh lebih sulit dibanding bila dimintai pendapat tentang masalah keseharian.

Di rumah, aku seringkali bercerita pada suami tentang perkembangan acara ‘Jelita’ku, dari mulai animo pendengar sampai pada pertanyaan-pertanyaan yang masuk. Beberapa kesulitan saat siaran kukemukakan. Ketidakmampuanku menjawab pertanyaan seputar agama dengan dalil yang pasti menjadi kendala tersendiri. Dengan ‘curhat’ ini aku berharap suami bisa memahami masalah istri kaitannya dengan pekerjaannya. Dan sebenarnya, akupun sedang menyiratkan padanya, begitu perlunya aku untuk bisa kuliah lagi.

Enam  tahun berlalu, hingga suatu hari, organisasi tempat aku beraktivitas akan mengadakan kegiatan tamhidul Mubalighat (pembinaan para mubalighat) bekerjasama dengan salah satu lembaga pendidikan agama yang ada, yaitu STAIPI (Sekolah Tinggi Agama Islam Persatuan Islam). Teringat pada keinginan sekaligus kebutuhanku untuk  lebih memahami ilmu agama yang selama ini kusimpan baik-baik dalam hati, secara bercanda aku  ungkapkan hal itu pada suamiku. Terus terang, aku sedikit takut mengutarakan hal ini. Takut ditolak suami. Hiks...hiks...hiks....:’(

Dan memang benar, suamiku tak berespon. Adduuuhhh....!!! Apalagi cara yang harus kulakukan??? Maka sedikit kugencarkan bujukan pada suami, “Yah, eneng ingin sekolah bukan apa-apa. Tapi merasa menjadi sebuah tanggung jawab ketika pendengar sudah memberikan kepercayaan yang begitu besar, namun ilmu eneng tidak bertambah. Bukankah kalau eneng bisa menggali ilmu agama dan mendapat bimbingan langsung dari dosen yang begitu kompeten akan sangat bermanfaat untuk eneng dan juga yang lainnya. Ayolah, Yah...boleh khan eneng kuliah lagi?!”
(‘Eneng’ adalah panggilan sayang suami untukku. Hehehe....).

Sebuah pertanyaan yang tak berjawab langsung saat itu.

Akankah aku tepis kembali harapan dulu yang kini ‘menggunung’ kembali?! Maka, jadilah Allah harapan satu-satunya untuk bisa memberiku jalan keluar yang terbaik. Berdoa meminta pertolongan-Nya adalah jalan terakhir yang kulakukan.

Kampus 'Bening'ku dalam renovasi
Hingga suatu hari, tak disangka tak dinyana, saat aku tanyakan kembali, suamiku mengijinkannya. Alhamdulillah.....senangnya luar biasa!

Segeralah kusiapkan segala sesuatunya bersama sahabat seperjuanganku, Ibu Iin. Informasi aku cari. Persyaratan-persyaratan kupenuhi. Dan satu hal yang pasti adalah mempersiapkan mental sendiri. Maklum, mengingat background pendidikan sebelumnya adalah dari umum, Sastra, Bahasa Jepang.

Pada tiga buah hatiku yang sudah beranjak besar (putra keempat masih kecil, usianya baru tiga tahun) kuajak bicara dari hati ke hati. Mempersiapkan mental mereka dan meminta dukungannya agar bundanya bisa sekolah kembali. Bukan hal yang mudah, karena pada mulanya mereka menolak. Mereka takut bila aku sekolah kembali, akan banyak waktu yang tersita buat mereka.

Secara perlahan aku beri mereka pengertian akan betapa pentingnya bila aku sekolah lagi. Bukan hanya berbicara masalah kebutuhan pribadi, akan tetapi juga menyangkut kebutuhan ummat. Bila aku bisa menempuh kuliah dengan hasil yang baik, bukankah mereka pula yang akan bahagia. Bangga memiliki bunda yang tetap semangat belajar meski di usia yang sudah tidak muda lagi.

Membutuhkan waktu hampir satu bulan untuk membuat mereka akhirnya bisa mengerti dan menerima keputusanku. Merekapun bisa tersenyum dan memelukku saat aku berangkat untuk kuliah pertamaku, Studium generale, hari Sabtu, 21 September 2013.

Beberapa photo yang aku sertakan adalah ‘lukisan’ indah hidupku saat berada di kampus dan kebersamaan yang ‘cantik’ bersama teman-temanku. Kami memang tidaklah muda lagi, tapi semangat kami tidak kalah dengan yang mereka masih muda.

Saat menanti dosen
Bila memang sudah saatnya, segalanya terasa indah. Penantianku yang cukup lama untuk bisa kuliah kembali, terkabul sudah. Dan aku merasa begitu lembut cara Allah mempersiapkanku dan menggiring kehidupanku sedemikian rupa hingga ilmu agama menjadi pilihan pasti kuliahku. Padahal dulu, aku pernah akan masuk ke sebuah perguruan tinggi terbuka jurusan umum (PAUD), tapi akhirnya gagal kuikuti karena suatu sebab. Di saat yang sama, kuliah di bidang agama amat sangat tidak menarik bagiku saat itu. Hingga seringkali aku menolaknya dengan berbagai alasan. Bukan apa-apa, terus terang ilmu agama dasarku tidaklah seberapa.


'Lamborghini'ku yang setia mengantar
Tapi kini, di saat kesadaranku mulai muncul akan pentingnya belajar agama, di saat itu pulalah Allah membukakan jalan dan memudahkannya. Suami mendukung, anak-anakpun demikian. Jalan menuju ilmu pun terbuka lebar. Subhanallah! Benar-benar sebuah penantian dalam kesabaran yang berbuah kebahagiaan.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular

Pengunjung saat ini

Ruang Siar

Label

Label Cloud