Mengenal istilah “kemelekatan” ketika bergabung dalam sebuah Kelas Parenting Komunitas Peduli Potensi Anak Indonesia (KP2AI). Kata yang unik dan jarang digunakan oleh hampir sebagian besar orang.
Kemelekatan
adalah sikap memberikan penilaian yang berlebihan pada suatu objek atau orang
kemudian menempel padanya. Dengan kata lain kita membayangkan kualitas yang
sebenarnya tidak dimiliki pada orang dan benda-benda, atau melebih-lebihkan
yang mereka miliki. Kemelekatan memiliki pandangan yang tidak realistis
sehingga mengakibatkan kebingungan.
Istilah
kemelekatan ini sering digunakan oleh kaum Buddhis untuk menggambarkan kondisi
pikiran yang terikat erat kepada suatu objek yang disenangi atau dibenci. Kemelekatan
ini bersinonim dengan ketergantungan. Padanan istilah “kemelakatan” ini dalam
Islam adalah hubbudunya, yaitu cinta dunia, yang merupakan salah satu
dari penyakit hati. Penyakit inilah yang dapat membuat seorang manusia menjadi
lemah.
Rasulullah
saw bersabda, ”Dapat diperkirakan bahwa kamu akan diperebutkan oleh
bangsa-bangsa lain sebagaimana orang-orang tersebut melahap isi mangkuk”.
Para
sahabat bertanya, ”Apakah jumlah kami saat itu sedikit, ya Rasulullah?”
Rasulullah
menjawab, ”Tidak, bahkan saat itu jumlahmu amat banyak, tetapi seperti air buih
di dalam air bah karena kamu tertimpa penyakit ‘wahn’.
Para
sahabat bertanya, “Apakah penyakit ‘wahn’ itu, ya Rasulullah?”
Beliau
menjawab, “Penyakit ‘wahn’ itu adalah kecintaan yang amat sangat kepada dunia
dan takut akan kematian.”
Dan
Rasulullah berkata, “Cinta dunia merupakan sumber utama segala kesalahan.”
Dalam
riwayat yang lain Rasulullah bersabda, “Demi Allah, bukan kemiskinan yang
aku khawatirkan akan menimpa diri kalian. Akan tetapi, aku khawatir jika dunia
ini dibentangkan untuk kalian sebagaimana ia dibentangkan untuk orang-orang
sebelum kalian sehingga kalian berlomba sebagaimana mereka berlomba, dan
akhirnya kalian hancur sebagaimana mereka hancur.” (HR Bukhari-Muslim).
Seseorang
bisa berada dalam kondisi kemelekatan ketika dia melekatkan dirinya pada objek
tertentu, peristiwa tertentu, atau seseorang. Wujudnya bisa ketergantungan yang
kuat, harapan yang tinggi, atau bersikap berlebih-lebihan dalam memandang atau
menilai sesuatu. Sikap realistisnya mengabur. Dia sangkakan sesuatu akan
didapatkan sesuai perkiraan, atau
berlaku sesuai bayangan. Namun saat apa yang diharapkan tidak terjadi
barulah dia tersadar bahwa anggapan dia selama ini salah. Kemudian kecewalah
dia. Itulah mengapa kondisi kemelakatan akan menarik diri seseorang masuk ke
dalam pusaran masalah, terjebak disana, dan tersesat tak tahu arah jalan
keluar.
Apa
yang harus dilakukan agar diri kita terbebas dari kondisi kemelekatan? Beberapa
langkah ini semoga bisa membantu.
Jangan
menilai secara berlebihan
Allah
sempurna adalah sebuah kepastian, dan urusan dunia memiliki keterbatasan adalah
sebuah keniscayaan. Maka janganlah kita menilai berlebih-lebihan atas sesuatu
di dunia ini. Di dunia sesuatu ada dan berlangsung tidaklah sesempurna yang
kita kira. Sebagaimana Allah menciptakan alam semesta dengan berpasangan, maka
sadarilah bahwa sesuatu di dunia ini hadir dengan dua keadaan yang melekat
padanya: kelebihan-kekurangan, kebaikan-keburukan, dll.
Penilaian
yang berlebihan kerapkali membuat daya nalar seseorang tidak bekerja. Baginya yang dikagumi seolah
sempurna tanpa cacat. Padahal dalam sosok yang dikagumi terdapat
kekurangan-kekurangan. Maka kagumilah pada hal baik yang ada padanya, dan
perlakukan hal lain sama dengan yang lainnya. Jadi ketika kekurangan itu nampak
di hadapan, kita tahu bagaimana harus bersikap. Ketika kelemahan ada, hati kita
tidak tergerus rasa olehnya.
Dr
A’id Abdullah al-Qarni dalam bukunya “Silahkan Terpesona” mengatakan sikap
ridha adalah pengusir kegelisahan, kecemasan, dan kesedihan. Obat keraguan,
kebingungan, dan kebimbangan. Karena ia adalah kepasrahan terhadap hikmah,
pembenaran terhadap syari’at, ketundukkan kepada kelembutan Allah, dan
keyakinan akan baiknya pilihan Allah. Orang yang memasuki rumah keridhaan akan
aman. Orang yang menghadap kabah keridhaan akan bahagia. Dan orang yang shalat
di mihrab keridhaan akan bijaksana, penuh pengharapan akan ampunan Allah, dan
selalu bertaubat.
Jangan
jadikan dunia sebagai tujuan
Wajah
dunia selalu tampak memesona. Daya tariknya kuat luar biasa. Tak heran, apabila
banyak orang berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Segala macam cara dilakukan,
bahkan yang harampun sudah tidak dihiraukan.
Dunia
dianggap sebagai bagian terbesar untuk mendapatkan kebahagiaan. Bisa dipahami,
karena memang tidak bisa dipungkiri melalui dunialah segala kebutuhan, aneka
ragam keinginan dapat terpenuhi. Sayangnya, tidak banyak diantara kita yang
menyadari bahwa dunia pun adalah fitnah terbesar bagi seseorang. Karena dunia,
hubungan kekerabatan bisa renggang, sikap hormat anak pada orangtua bisa
hilang, suami-istri bercerai, keadilan tidak dapat ditegakkan, kemuliaan
seseorang digadaikan, terjadi kesewenang-wenangan, pembunuhan, dll. Betapa,
dunia bisa membeli nilai-nilai baik yang ada pada diri manusia dan menggantinya
dengan sesuatu yang buruk. Itulah mengapa, Rasulullah saw mengumpamakan dunia
sebagai sesuatu yang rendah, hina dan
tidak ada harganya sama sekali.
Pada
suatu hari Rasulullah saw memasuki sebuah pasar bersama orang-orang di
sekitarnya. Kemudian beliau melewati bangkai anak kambing yang telinganya
kecil. Lalu beliau memegang telinga kambing itu sambil berkata, “Siapa di
antara kalian yang berani membeli ini seharga
satu dirham?”
Mereka
berkata, “Kami sama sekali tidak menyukainya. Dan apa yang bisa kami lakukan
dengan bangkai anak kambing itu?”
Rasulullah
saw berkata lagi, “Siapa yang mau jika ini diberikan secara cuma-cuma?”
Mereka
menjawab, “Demi Allah, jika hidup saja ia memiliki telinga yang kecil, apalagi
setelah menjadi bangkai?!”
Mendengar
hal itu, Rasulullah saw berkata dengan sedikit jengkel, “Demi Allah, dunia
lebih hina di sisi Allah daripada bangkai kambing ini. “
Demikianlah,
Rasulullah saw memberikan perumpamaan yang begitu jelas pada kita tentang nilai
dunia. Tidak selayaknyalah apabila kita melekatkan diri kuat-kuat pada dunia.
Adanya membuat kita bahagia, hidup penuh semangat, dan tiadanya hidup seakan
menderita dan kehilangan gairah.
Lepaskan
diri dari kemelekatan atas dunia. Jadikan dunia hanya sebatas sarana kita untuk
bertahan hidup dan beribadah. Bukan tujuan. Sedikit banyak itu relatif,
kaya-miskin itu hanya sangkaan, karena hakikat kekayaan (dunia) itu bukan pada
apa yang kita miliki, namun pada apa yang telah kita beri bagi sesama.
Rasulullah
saw bersabda, “Kekayaan itu bukanlah terletak pada banyaknya harta, akan
tetapi ada pada kekayaan jiwa. “
Dunia
bukan jaminan kebahagiaan dan ketenangan hidup. Lantas alasan apa yang
menyebabkan setiap orang rela menggadaikan kehidupannya pada sesuatu yang sama
sekali tidak bisa menjamin kebahagiaan dan ketenangan hidupnya?
Melalui
bukunya “Silahkan Terpesona” Dr A’id Abdullah al-Qarni mengatakan manusia yang
cerdik tidak akan menjadikan dunia sebagai tempat menetap,melainkan hanya sebagai
persinggahan,membekali diri padanya dengan amalan-amalan shalih. Tidak bersedih
hati karena kekurangannya, dan tidak menyesal karena tidak mendapatkannya. Hanya mengambil secukupnya dari
perbendaharaannya dan merasa puas dengan yang sedikit darinya.
Bergantung
hanya semata kepada Allah
Tiada
sebaik-baik tempat untuk bersandar memohon perlindungan, meminta pertolongan
kecuali Allah swt. Dia tak terlihat, namun keberadaan-Nya dapat kita rasakan
dalam setiap desah nafas kita. Tiada kehidupan yang terjadi kecuali atas
ijin-Nya. Tiada hal yang mempu kita raih kecuali atas kehendak-Nya. Manusia
lain atau apapun itu yang menjadikan harapan terkabulkan hanyalah sebagai
wasilah (jalan) bagi Allah untuk memudahkan urusan kita. Maka atas setiap
apapun hajat hidup kita, gantungkanlah hanya pada Allah semata.
Berharap
banyak pada sesama, kita akan kecewa. Terlalu percaya pada makhluk-Nya, kita
pun akan terpedaya. Sedangkan Allah, dalam setiap ketetapan takdir-Nya bagi kita selalu memberikan yang terbaik yang
tidak hanya bagi kehidupan kita di dunia,namun juga untuk kehidupan kita di
akhirat.
Allah
yang menciptakan kita. Allah pula yang mengurus dan memberikan rejeki pada
kita, maka hanya Allah sajalah yang paling Maha Mengetahui apa yang terbaik
atas setiap urusan kita. Jadikan Allah sebagai hanya satu-satunya tempat
bergantung, dan tempat kita melekatkan diri pada-Nya. Insyaallah, tiada urusan
dunia yang dirasa berat, kecuali semua akan terasa ringan karena kita yakin
Allah akan selalu menolong kita. Kapanpun dan dimanapun.
Jadikan
diri sebagai subyek/pelaku dalam kehidupan, dan bukan sebagai obyek/peran
pembantu
Dalam
“teater besar kehidupan”, setiap orang menjadi pemeran utama dalam kehidupannya
masing-masing. Saya adalah tokoh utama dalam kehidupan saya, dan orang-orang di
sekeliling sebagai tokoh pembantu. Namun dalam kehidupan mereka, justru sayalah
yang duduk sebagai pemeran pembantu dan merekalah pemeran utamanya .
Demikianlah seterusnya. Masing-masing orang memerankan peranannya di kehidupan
seperti apa yang mereka inginkan.
Dalam
berlakon di “teater kehidupan” seseorang dapat memposisikan diri sebagai subyek
ataupun obyek. Sebagai subyek maka dia akan mengendalikan sepenuhnya
kehidupannya, bertanggung jawab atas fikiran, dan pandai mengelola perasaannya.
Apapun sikap, perbuatan, dan perkataan orang lain tidak dibiarkan mempengaruhi
banyak kehidupannya. Dia memahami betul bahwa setiap perbuatan baik ataupun
buruk pada akhirnya semua akan kembali kepada sang pelaku. Maka sikap yang akan dimunculkan adalah
responsif, menanggapi sesuatu dengan sikap yang tepat dan tidak terbawa emosi.
Sedangkan memposisikan diri sebagai obyek, maka sesuatu yang terjadi di luar
dirinya akan dimaknai sebagai ancaman yang membuat dirinya menderita, sedih,
dan merana. Kondisi emosinya cepat berubah, mudah terpancing, dan berfikiran
negatif.
Ada
sebuah pencerahan bagus dari Dr A’id Abdullah al-Qarni yang mengatakan jangan
lekas percaya dengan pujian manusia dan cepat takut dengan cercaan mereka. Sebab pujian maupun cercaan
dari orang lain bisa berubah-ubah setiap saat tergantung kepada kepentingan
masing-masing mereka terhadap Anda. Yang penting, Anda harus bekerja keras,
otonom (pen. menjadi subyek dalam kehidupan), utuh, dan teguh hati. Abaikan
orang lain karena bagaimanapun kelak mereka akan mengakui kinerja Anda itu.
Bergaullah
dengan mereka dengan baik, namun simpan kepercayaan Anda hanya pada Allah.
Fokus pada kebaikan
Berusahalah,
sekalipun tak selalu berhasil seperti harapan, namun terus lakukanlah
Berkaryalah,
walau tak selamanya diapresiasi baik, namun terus lakukanlah
Permudahlah
urusan orang lain, walau tak semua membalas sepertimu, namun terus lakukanlah
Bersikap
jujurlah, walau kebohongan terdapat di sekitarmu, tetap pertahankanlah
Teruslah
berjalan ke depan dan fokuslah melakukan kebaikan. Abaikan setiap cibiran,
komentar, dan penilaian yang melemahkan kita. Jangan mengeruhkan fikiran,
memberatkan perasaan dan membayangkan imajinasi-imajinasi buruk di benak kita.
Dr A’id Abdullah al-Qarni memberi nasihat bagaimana hidup kita dapat tenang
jika selalu mengingat luka-luka di masa lalu, menerka-nerka musibah di masa
depan, tersakiti oleh kata-kata yang keji yang diucapkan oleh si pendengki,
mendendam kepada para perampas haknya, memarahi anak yang melawan kehendaknya,
sedih karena harta yang hilang, was-was karena penyakit, dan terus-menerus
menambah deretan musibah dan kesedihannya.
Shalihaat,
berfokus pada kebaikan memberikan ruang
gerak yang bebas dan luas, melapangkan dada untuk kita dapat hidup berdaya
guna, bermanfaat, sekalipun boleh jadi
luput dari perhatian orang-orang sekitar atau bahkan dianggap biasa. Namun
sadarilah, setiap pekerjaan sesederhana apapun itu, saat Allah-lah alasan kita
melakukannya, maka tak ada lagi yang kecil di hadapan-Nya.
Wallahu’alam
bishshawab.
*****
Referensi:
“Silahkan
Terpesona, Dr A’id Abdullah al-Qarni, Sahara publisher, 2004
Materi
Parenting Teori “Kemelekatan” Komunitas Peduli Potensi Anak Indonesia (KP2AI)