Tak terfikir dimana
letak kemuliaan atas wanita dari dihalalkannya nikah mut’ah. Bisa bersama
dengan lelaki namun berstatus suami sementara waktu, membangun rumah tangga berbatas
waktu. Tidak ada jaminan perlindungan atas keturunan, tak ada ketentuan atas
warisan, tak ada imam rumah tangga dunia dan akhirat. Dan hilangnya rasa malu
yang menjadi perhiasan terindah seorang wanita.
Nikah mut’ah
memposisikan wanita dalam banyak kerugian dan kehinaan, sekalipun berlindung dibalik
jubah besar atau berdalih agama.
Di Iran, pelaku
mut’ah tak bisa melihat jelas pasangannya saat “bermesraan” karena ruangan
gelap tak berlampu. Sengaja demikian agar esok siang saat bertemu satu sama
lain tak saling kenal dan tak merasa malu. Bila nikah mut’ah adalah benar
pengundang surga, lalu mengapa harus ada perasaan malu itu?! Tidakkah itu
pertanda sinyal nurani mengingatkan bahwa itu adalah perbuatan dosa?!
Masih di negara yang
sama, ada seorang ayah yang bermut’ah dengan darah dagingnya sendiri, karena
dia tak tahu dulu pernah bermut’ah dengan ibunya. Bila nikah mut’ah adalah
benar, bagaimana mungkin keturunan sendiri luput dari pengetahuan?!
Di lain tempat, pelaku
mut’ah bahkan menawarkan diri pada sembarang lelaki. Maaf…apakah tidak merasa ada
sesuatu yang salah? Karena wanita yang baik tentu berharap siapapun laki-laki yang menjadi pasangannya
adalah laki-laki pilihan, bertanggung jawab, baik agamanya, terpuji akhlaknya,
dan memiliki kasih sayang. Bukan pada siapa saja yang berhasil ditemui
atau menemui?
Saudaraku…..
Fitrah
suci wanita hanyalah mengabdi pada satu pria, dan itu adalah suaminya.
Setia
pada satu pria, dan itu adalah suaminya.
Bisa
hidup tenang dengan satu pria, dan itu adalah suaminya.
Berganti
pasangan sekalipun mungkin bagi segelintir orang menyenangkan, namun dia mengingkari
kebenaran dalam dirinya. Dia melawan fitrahnya.
Seorang
wanita asusila saja mengharapkan kehidupannya tidak terus berkubang dalam gelimang
dosa. Dia ingin hidup lurus, menikah, dengan satu pria dengan kehidupan normal
dan baik-baik saja. Bagaimana mungkin, ada pemahaman mengatasnamakan agama membiarkan
penganutnya justru masuk ke dalam kubangan yang hampir sama walau dengan dalih
yang berbeda?
Rasanya…mengherankan
sekali. Jangankan memakai dalil agama, secara nalar saja, tidak masuk di akal.
Nikah mut’ah dengan
dalih surga sebagai ganjaran, rasanya terlalu berlebihan juga. Karena surga itu
suci, hanya dapat dicapai dengan perbuatan suci, pernikahan yang suci, niat
yang suci, cara yang suci pula seperti aturan yang Allah tetapkan.
Saudaraku…..
Di usia muda masih
mungkin engkau bekerja dan hidup mandiri. Tapi bagaimana dengan usia tua nanti?
Siapa laki-laki yang akan melindungi, menjaga, dan menjadi teman hidup melewatkan
masa? Mana anak-anak yang bangga memanggil kita ibu dan pasti kepada siapa
anak-anak memanggil ayah? Atau masihkah bisa memiliki rasa bangga bila anak
yang terlahir dari beda ayah, dan ayahnya semua tak ada disamping mereka?
Apa yang hendak
engkau ceritakan tentang bahagianya hidup berumah tangga, bila engkau sendiri
tak pernah bisa menjalaninya? Keteladanan wanita terhormat seperti apa yang
hendak engkau ceritakan pada anakmu, bila engkau saja nikah mut’ah berulang kali?!
Kemuliaan wanita
terletak pada kemampuannya menjaga diri dan melindungi kehormatannya.
Mungkinkah itu bisa didapatkan bagi para pelaku nikah mut’ah? Rasanya tidak mungkin.
Saudaraku….
Nikah mut’ah akan
menyeret kehidupanmu pada keburukan dan kehinaan.
Tak
ada konsep RT “samara” dalam nikah mut’ah,
Tak
ada keadilan, karena psati wanita akan berada pada posisi yang lemah,
Tak
ada keteladanan,
Tak
ada tanggung jawab,
Tak
ada cinta/kasih sayang sejati,
Tak
ada jaminan,
Tak
ada perlindungan,
Tak
ada ketentuan hukum,
Tak
ada kehormatan,
Tak
ada kejelasan.
Yang
ada hanyalah pemuasan nafsu, niat yang tragis di awal pernikahan, tanggung
jawab semu, dan transaksi uang.
Lalu
apa bedanya pelaku dengan wanita kupu-kupu malam?!
Sama-sama
bertransaksi uang
Sama-sama
berbatas waktu
Sama-sama
bersembunyi
Sama-sama
berpotensi dicampakkan; dan
Sama-sama
berpeluang terkena penyakit ganas kewanitaan.
Saudaraku….anggapan
kemuliaan, kebaikan bahkan pahala surga dalam nikah mut’ah yang dijejalkan dalam benakmu adalah
omong kosong belaka. Sebuah tipuan mengemas perbuatan dosa dalam balutan agama.
Jangan pernah percaya, apalagi meyakininya. Seandainyapun benar, lalu mengapa
istri tokoh besar syi’ah Indonesia sendiripun tidak pernah mau melakukannya dan
banyak berkelit dari cercaan pertanyaan seputar itu?! Karena dia tahu dan dia
pintar: mana mungkin seorang istri terhormat mau berbagi dengan laki-laki yang
lain, atau membiarkan suaminya mut’ah dengan istri lainnya. Mana mungkin hal
itu dibiarkannya terjadi di hadapannya.
Padahal,
tahukah Saudaraku….dalam kitab syi’ah: barangsiapa yang tidak bermut’ah maka
dia telah kafir. Bacalah apa yang terdapat dalam kitab “Manhaj
As Shodiqin” karangan Fathullah Al Kaasyaani dari As Shodiq, hal: 356, (menerangkan)
bahwasanya:
“Nikah mut’ah itu adalah dari ajaran
agamaku dan agama bapak-bapakku, dan orang yang melaksanakannya berarti dia
mengerjakan ajaran agama kita, dan orang yang mengingkarinya berarti dia
mengingkari ajaran agama kita, bahkan ia memeluk agama lain dari agama kita.
Dan anak (hasil) nikah mut’ah lebih mulia dari anak istri yang tetap/sah. Orang
yang mengingkari nikah mut’ah adalah kafir murtad.”
Jelas dan sangat terang sekali bukti
kebenaran ada dihadapan kita, bahwa sikap menolak nikah mut’ah beliau bertolak
belakang dengan ajarannya sendiri, sekaligus sebagai sebuah pengakuan paling nyata
lagi jelas tanpa kata bahwa nikah mut’ah adalah hal yang salah, bertentangan
dengan agama yang hanif dan menyalahi
kelurusan hati.