Hidup
berumah tangga tak selalu mulus. Ada kalanya senang, terkadang pula suram
akibat perselisihan pandangan tentang satu dan lain hal. Itulah seni berkeluarga.
Ketika
perbedaan dan masalah timbul, di saat emosi kedua belah pihak memuncak, sering
kali rasa marah mengalahkan logika dan nurani. Kata-kata kasar pun mudah
terucapkan.
Lembaga
Urusan Islam dan Wakaf Uni Emirat Arab (UEA) pun berbagi nasihat agar kedua
pasangan dalam kondisi emosi memuncak tetap bisa menjaga diri, minimal tidak
mengeluarkan kata-kata kotor.
Bukan hanya
di pihak lelaki, melainkan juga perempuan. Dalam suasana apa pun, baik muncul
masalah ataupun tidak, seyogyanya kata-kata kasar tidak terucap.
Prinsip
mendasar dalam hidup berumah tangga adalah saling berinteraksi secara baik
serta saling menghormati dan menghargai. Tiap permasalah yang mengemuka,
diatasi dengan cara yang santun dan kepala dingin.
Ini sesuai
dengan tuntunan yang terdapat di surah an-Nisaa’ ayat 19, “Dan bergaullah
dengan mereka secara patut. Kemudian, bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan kepadanya kebaikan yang banyak.”
Mengumpat
suami atau sebaliknya merupakan perbuatan tercela. Menurut hadis riwayat
Abdullah bin Mas’ud, berkata kasar dan jelek kepada suami merupakan bentuk
kefasikan.
Tindakan itu
semestinya dihindari siapa pun, tak terkecuali istri kepada suami. Mencela atau
memaki, sebagaimana ditegaskan hadis dari Abdullah bin Mas’ud di riwayat yang
lain, tidak termasuk karakter seorang mukmin.
Perkataan kasar tidak menyelesaikan masalah,
justru akan lebih memperlebar luka di hati.
Maka berhati-hatilah para istri agar tidak
mudah mengeluarkan perkataan kasar atau tak patut kepada suami. Posisi suami
dalam hidup berumah tangga harus dihormati. Sejumlah keutamaan yang mereka
miliki mestinya menuntun bahtera rumah tangga ke arah rida Allah SWT. Taatlah
kepada suami.
Seandainya, kata Rasulullah saw dalam sabdanya
yang dinukilkan oleh Imam at-Tirmidzi, ada sosok yang lebih pantas untuk
bersujud di hadapannya, niscaya kepada suamilah seorang istri itu dituntut
bersimpuh.
Tiap masalah yang terjadi dan berdampak pada
gesekan antarkeduanya harus dilesaikan dengan bijak, bukan dengan umpatan dan
kata kasar. Namun demikian, menurut
Syekh Shalih Ibn al-Utsaimin, jika suami berlaku kasar dan cenderung jauh dari
ketakwaan, istri berhak untuk tidak memenuhi sejumlah kewajibannya sebagai
pendamping. Misalnya, bila suami suka bermaksiat. “Barang siapa yang
menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.”
(QS al-Baqarah [2]: 194). Namun, tetap dalam koridor yang diperbolehkan.
Dan, terakhir kali kekerasan fisik ataupun
nonfisik berupa ucapan-ucapan tak sedap di telinga atau perasaan, bukan cara
yang tepat dalam mengurai masalah rumah tangga.
Melainkan, saling terbuka, menghormati, dan
tetap menjaga etika kala menghadap persoalan. Membalas keburukan dengan kebaikan
adalah keutamaan yang tak ternilai harganya, sekalipun memang sulit dilakukan.
(Republika)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar