AMANAH YANG TERABAIKAN - FIQIH THAHARAH WANITA


Allah swt. Berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat). Lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu sangat dzalim dan sangat bodoh. “ (QS. Al-Ahzab: 72)

DEFINISI AMANAH

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), amanah adalah sesuatu yang dipercayakan (dititipkan) kepada orang lain. Pengertian ini mengandung makna bahwa amanah selalu melibatkan dua belah pihak, si pemberi amanah dan penerima amanah. Lawan kata amanah adalah khianat.

Abu al-Baqa’ al-Kafumi mengatakan amanah adalah segala kewajiban yang dibebankan kepada seorang hamba, seperti shalat, zakat, puasa, membayar hutang, dan segala kewajiban lainnya.

Muhammad Rasyid Ridha mengatakan amanah kepercayaan yang diamanatkan kepada orang lain sehingga mucul ketenangan hati tanpa kekhawatiran sama sekali.

Fakhr al-Din al-Razi berpendapat bahwa amanah adalah ungkapan tentang suatu hak yang wajib ditunaikan kepada orang lain.

Abu Hayyan al-Andalusi mengatakan secara kasat mata, amanah adalah segala bentuk kepercayaan yang diberikan kepada seseorang, baik dalam bentuk perintah maupun larangan, baik terkait urusan duniawi maupun urusan ukhrawi. Sehingga dengan demikian, semua syari’at adalah amanah.

Imam al-Qurthubi mengatakan amanah adalah segala sesuatu yang dipikul atau ditanggung oleh manusia, baik sesuatu terkait dengan urusan agama maupun dunia, baik perkataan maupun perbuatan, dimana puncak amanah adalah penjagaan dan pelaksanaannya.

Di dalam al-Qur’an. Lafadz amanah disebutkan sebanyak 20 kali yang kesemuanya dalam bentuk isim, kecuali hanya satu yang disebutkan dalam bentuk fi’il, yaitu terdapat dalam QS. al-Baqarah: 283.

Para ulama memberikan definisi yang berbeda tentang amanah. Semuanya terangkum dalam 6 poin besar amanah, yaitu berkaitan tentang:
1.   Tanggung jawab syari’at
2.   Agama Islam
3.   Hukum-hukum Allah
4.   Shalat          
5.   Shalat
6.   Puasa
7.   Mandi Janabat (mandi besar)

Dalam tulisan ini, kita akan lebih fokus membicarakan tentang thaharah. Karena bab thaharah ini adalah satu hal yang seringkali diabaikan. Setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan mengapa amanah tentang thaharah ini banyak diabaikan, antara lain:
1.   Malu untuk membicarakannya
2.   Berbicara thaharah adalah hubungannya antara dia dengan Allah.

URGENSI THAHARAH

Kita perlu untuk mengetahui tentang thaharah ini. Selain karena berhubungan dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, juga karena akan menjadikan sah tidaknya ibadah yang kita lakukan. Misalnya, untuk dapat melaksanakan shalat, kita harus berwudhu. Sedangkan untuk sahnya wudhu, selain kita harus memiliki pngetahuan tentang tata cara wudhu, juga perlu pula mengetahui tentang apa saja hal-hal yang dapat membatalkan wudhu. Bagaimana cara menghilangkan hadats dan najis (thaharah). Ilmu berkenaan tentang Thaharah memiliki cakupan demikian luas. Namun kita persempit dalam tulisan ini hanya membicarakan tentang Fiqih Thaharah Wanita.


Ada beberapa jenis cairan yang keluar dari tubuh seorang wanita yang berasal dari tiga saluran (lubang), yaitu:
1.   Saluran untuk jalan air kencing
2.   Saluran untuk jalan lahir (persalinan)
3.   Saluran untuk jalan kotoran (anus)
Masing-masing saluran mengeluarkan jenis cairan yang berbeda, dan dihukumi berbeda pula dalam ajaran agama kita.

A.  Cairan yang keluar dari saluran untuk kencing

Cairan yang keluar dari saluran untuk kencing adalah al-Wadi, yaitu cairan yang keluar setelah buang air kencing.

Hukumnya adalah najis, pakaian atau anggota badan yang terkena wadi harus dicuci, dan membatalkan wudhu. Cara membersihkan wadi adalah dengan mencuci kemaluan, kemudian berwudhu jika hendak shalat. Bila terkena badan, maka cara membersihkannya adalah dengan dicuci.

B.   Cairan yang keluar dari saluran untuk lahir (persalinan)

1.   Sufrah dan Qudrah

Cairan yang keluar darinya adalah Sufrah dan Qudrah (berupa flek kuning dan kecoklatan).

Sufrah dan Qudrah di masa haid

Sufrah berupa cairan kuning, warnanya seperti nanah. Adapun Qudrah berupa cairan keruh dan berwarna kemerahan. Keduanya keluar pada masa haid ataupun masa suci.
Sufrah dan Qudrah yang keluar di masa haid masih termasuk haid sebelum haid itu berhenti. Berhentinya haid ditandai oleh dua ciri, yaitu kering dan keluarnya cairan putih di akhir haid.

Hukum Sufrah dan Qudrah: termasuk haid.

Sufrah dan Qudrah di masa suci

Apabila di masa suci muncul flek baik dalam bentuk Sufrah maupun Qudrah, maka hukumnya adalah:
-     Suci, tidak termasuk haid, dan tidak termasuk najis, baik masa suci itu dekat ataupun jauh dari masa haid.
-     Membatalkan wudhu. Sufrah dan Qudrah adalah semisal dengan kentut. Dia tidak najis, namun membatalkan wudhu.

2.   Madzi

Madzi adalah cairan yang licin, ringan, bening, mengalir, dan tidak memancar. Dia keluar ketika tergeraknya syahwat. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama mengeluarkan madzi.

Hukum madzi adalah: najis, membatalkan wudhu, pakaian dan anggota badan yang terkena madzi harus dicuci dengan cara memercikkan air pada bagian yang terkena madzi tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Cukup bagimu dengan mengambil segenggam air, kemudian engkau percikkan bagian pakaian yang terkena air madzi tersebut. “ (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dengan sanad hasan).

Apabila air madzi keluar dari kemaluan seseorang, maka ia wajib untuk mencuci kemaluannya dan berwudhu jika hendak shalat.

Rasulullah saw. bersabda, “Cucilah kemaluannya, kemudian berwudhulah. “ (HR. Bukhari, Muslim).

3.   Ifrazat Mahdaliyyah (keputihan)

Keputihan adalah cairan yang kental, licin, elastis sampai bisa melar, mengalir, tidak memancar, dan berwarna bening/putih. Keputihan ini ada dua jenis, yaitu keputihan normal (tidak berbau dan tidak berwarna), dan keputihan penyakit (berbau, berwarna, dan menimbulkan rasa gatal).

Hukum keputihan: suci dan tidak membatalkan wudhu (mayoritas pendapat para ulama).

4.   Mani

Mani laki-laki: putih, kental
Mani perempuan: berwarna kuning, ringan, memancar bersamaan dengan syahwat, berbau.

Mani dapat keluar dengan atau tanpa syahwat. Misalnya bagi orang yang tinggal di daerah Kutub Utara dapat keluar mani dikarenakan cuaca super dingin di bawah 0 derajat celcius.

Keluarnya mani dengan syahwat bisa dalam dua keadaan, yaitu:
a.      Keluar dalam keadaan tidur (mimpi, misalnya)
b.      Keluar dalam keadaan bangun/sadar (bersetubuh atau bercumbu)

Hukum mani: suci (pendapat para ulama yang paling kuat), namun dia wajib melakukan mandi besar. Bersetubuh sekalipun tidak mengeluarkan mani, tetap wajib mandi besar. Apabila pakaian seseorang terkena mani, maka disunnahkan untuk mencuci pakaian tersebut jika air maninya dalam keadaan basah. Jika dalam kering, maka cukup dengan mengeriknya saja. Hal ini berdasarkan perkataan Siti Aisyah ra. Beliau berkata, “Saya pernah mengerik mani yang sudah kering yang menempel pada pakaian Rasulullah saw. dengan kuku saya. “ (HR. Muslim).

Tata cara mandi besar (mandi janabat):
1.   Mandi yang cukup sah
Mandi ketika seseorang membasahi sekujur tubuhnya dengan berniat melakukan mandi besar.
2.   Mandi yang sempurna
-     Niat
-     Mencuci kemaluan
-     Mencuci tangan
-     Berwudhu
-     Menyiramkan air pada bagian tubuh sebelah kanan
-     Menyiramkan air pada tubuh sebelah kiri
-     Membasahi sekujur tubuh

Perbedaan Mandi Haid dan Mandi Janabat

No
Darah Haid
Darah Istihadhah
1
Beda tempat keluarnya:
Haid adalah luruhnya dinding rahm sebagai akibat tidak terjadinya pembuahan.

Keluarnya darah pada pembuluh dinding/leher rahim.
2
Beda karena sebabnya:
Haid karena robeknya pembuluh darah.

Karena adanya penyakit di dalam rahim/sistem reproduksi/ sel telur.
3
Beda karena sifatnya:
Darah haid berwarna hitam atau merah pekat, kental, berbau, dan tidak menggumpal –karena dari sejak keluar sudah berupa gumpalan-gumpalan/lembaran-lembaran darah haid.

Berwarna terang, cair, beraroma darah segar, setelah keluar darah langsung menggumpal.
4
Beda karena waktu keluarnya:
Keluar antara usia pubertas (9 tahun-an) sampai dengan usia menopause.

Bisa keluar sebelum masa pubertas atau setelah masa menopause.
5
Beda masa keluar:
Masa minimal haid adalah sehari semalam (24 jam), maksimal 15 hari –secara keumuman (mayoritas pendapat para ulama).

Masa keluarnya tidak ada batas minimal atau maksimal. Ada yang keluar sebentar, ada pula yang keluar bertahun-tahun. Dan ini merupakan ujian dari Allah swt.
6
Haid berkaitan dengan hukum-hukum ibadah, hukum thalaq, hukum cerai, dan hukum iddah.
Hukumnya sama seperti halnya wanita suci, kecuali dia wajib berwudhu setiap kali akan melaksanakan shalat. Dan dia wajib mengganti pakaiannya untuk itu.

Mengapa mandi haid dilakukan demikian tertib sedangkan mandi janabat tidak? Karena mandi haid hanya dilakukan sebulan sekali. Sedangkan mandi janabat bisa dilakukan berkali-kali dalam satu bulan.

5.   Darah Haid

Darah haid adalah darah yang keluar dari rahim seorang wanita pada waktu-waktu tertentu yang bukan disebabkan oleh penyakit atau karena adanya proses persalinan.

Wanita yang sedang haid tidak diperbolehkan untuk shalat, puasa, thawaf, berhubungan intim, membaca al-Qur’an dengan menyentuh mushafnya (sebagian pendapat ulama).

Batasan Haid

Menurut ualam Syafi’iyyah batas minimal masa haid adalah sehari semalam (24 jam) dan batas maksimalnya adalah 15 hari. Maka jika lebih dari 15 hari maka darah itu termasuk darah istihadhah dan wajib bagi wanita itu untuk mandi dan melakukan shalat.

Imam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu al-Fatawa mengatakan bahwa tidak ada batasan yang pasti mengenai minimal dan maksimal darah haid itu. Syaikh Utsaimin rahimahullah pun mengambil pendapat ini.

      Berhentinya Haid

Indikator selesainya haid adalah kering dan adanya alendir putih yang keluar dari jalan lahir. Cara mengeceknya adalah dengan menggunakan kapas putij yang dimasukkan ke dalam vagina. Jika tidak terdapat bercak sedikitpun, dan benar-benar bersih, maka wajib shalat dan mandi.

6.   Istihadhah

Jenis-jenis darah istihadhah:
-     Darah anak kecil
-     Darah setelah menopause
-     Darah wanita hamil
-     Darah yang lebih sebentar dari masa minimal haid (kurang dari 24 jam)
-     Darah yang lebih lama dari masa maksimal haid
-     Darah yang keluar setelah suci dari haid
-     Darah akibat operasi

Sebelum berwudhu, wanita istihadhah wajib mengganti pakaian setiap kali akan shalat.

Perbedaan Darah Haid dan Darah Istihadhah


No
Darah Haid
Darah Istihadhah
1
Beda tempat keluarnya:
Haid adalah luruhnya dinding rahm sebagai akibat tidak terjadinya pembuahan.

Keluarnya darah pada pembuluh dinding/leher rahim.
2
Beda karena sebabnya:
Haid karena robeknya pembuluh darah.

Karena adanya penyakit di dalam rahim/sistem reproduksi/ sel telur.
3
Beda karena sifatnya:
Darah haid berwarna hitam atau merah pekat, kental, berbau, dan tidak menggumpal –karena dari sejak keluar sudah berupa gumpalan-gumpalan/lembaran-lembaran darah haid.

Berwarna terang, cair, beraroma darah segar, setelah keluar darah langsung menggumpal.
4
Beda karena waktu keluarnya:
Keluar antara usia pubertas (9 tahun-an) sampai dengan usia menopause.

Bisa keluar sebelum masa pubertas atau setelah masa menopause.
5
Beda masa keluar:
Masa minimal haid adalah sehari semalam (24 jam), maksimal 15 hari –secara keumuman (mayoritas pendapat para ulama).

Masa keluarnya tidak ada batas minimal atau maksimal. Ada yang keluar sebentar, ada pula yang keluar bertahun-tahun. Dan ini merupakan ujian dari Allah swt.
6
Haid berkaitan dengan hukum-hukum ibadah, hukum thalaq, hukum cerai, dan hukum iddah.
Hukumnya sama seperti halnya wanita suci, kecuali dia wajib berwudhu setiap kali akan melaksanakan shalat. Dan dia wajib mengganti pakaiannya untuk itu.



7.   Darah Nifas

Darah nifas adalah darah yang keluar ketika melahirkan dan setelahnya. Termasuk darah nifas jika rerdapat kontraksi.

Masa minimal nifas: tidak ada masa minimal. Lamanya masa nifas secra keumuman adalah 40 hari. Namun apabila sebelum 40 hari nifas sudah selesai (bersih), maka wajib baginya untuk segera mandi besar.

C.   Cairan yang keluar dari saluran untuk kotoran (anus)

Bersambung........

(Resume Kajian Khusus Muslimah, Fiqih Wanita, disampaikan oleh Ustadzah Arfah Nurlaila, Lc., MA, alumnus Universitas Ummul Qura, Makkah, Arab Saudi, Pimpinan Ma’had Safeera, Cibiuk Garut, sekaligus kontributor situs Mulsimah.com

Share:

MENUHANKAN KECANTIKAN


Shalihat, perempuan mana sih yang tidak mau cantik. Semua pasti mengharapkan dirinya secantik seperti yang dibayangkannya. Dalam hal ini, media memiliki peran yang luar biasa besar untuk menggiring definisi cantik pada satu kondisi, misalnya memiliki kulit putih mulus, mata bundar, bibir mungil, rambut tebal, hidung mancung, leher jenjang, badan semampai langsing. Aduuhhh.....bidadari kaleeee.

Banyak usaha dilakukan hanya untuk mendapatkan penampilan diri seperti yang diinginkannya. Apalagi beragam produk perawatan tubuh, dan kosmetik banyak ditawarkan. Jadilah, semua usaha dilakukan oleh kaum wanita untuk tampil cantik. Bahkan sebagian diantaranya menempuhi segala cara tanpa memperhatikan aturan syariat agama.

Shalihat, sesungguhnya kalau kita mau jujur-jujuran nih, biasanya seseorang merasa ada yang kurang dalam dirinya apabila dia sudah berusaha membanding-bandingkan keadaan dirinya dengan yang lainnya.


Warna kulit

Masyarakat Indonesia hampir sebagian besar memiliki warna kulit sawo matang, atau kuning langsat. Sedangkan di negara empat musim, rata-rata masyarakatnya memiliki warna kulit putih. Tapi tahukah Shalihat, bahwa definisi cantik yang dicekoki ke benak kita oleh media selama ini adalah perempuan yang memiliki kulit putih, sehingga berbondong-bondong kita latah memutihkan kulitnya. Sedangkan negara Amerika Serikat sendiri yang notabene berkulit putih, justru melihat wanita cantik itu adalah mereka yang memiliki kulit gelap. Mereka sebut sebagai warna eksotik yang sexy. Ramai-ramailah mereka menjemur diri di bawah terik matahari di pantai. Bertolak belakang, khan?! Yang kulit gelap ingin putih, yang putih ingin gelap. Renungkanlah.

Berat Badan

Negara Indonesia dari dulu rasanya masih memiliki definisi cantik yang sama berkenaan dengan masalah berat badan: yang tinggi semampai bin langsing. Gemuk dikit, waaahhh...sudah deh jadi masalah. Diet berbagai program laku keras. Padahal di negara Arab sana, dikata perempuan cantik itu apabila memiliki tubuh yang subur alias gemuk. Tubuh gemuk seorang istri dianggap sebagai simbol kebahagiaan  dan kebanggaan tersendiri di hati para suami. Di sini yang badannya imut-imut macam kita, tak masuklah kategori. Itu artinya baik bagi yang memiliki berat badan langsing ataupun subur adalah cantik. Tinggal kita mau pakai definisi yang mana. Lagipun, kesehatanlah seharusnya yang menjadi ukuran cantiknya diri kita. Menjadi langsing tapi menderita Anorexia Nervosa (diet berlebihan sampai badan kurus khan gak cakep juga. Bagi yang bertubuh gemuk, ada baiknya rajin olahraga, perhatikan pola makan. Karena biasanya penyakit mudah datang bermula dari seputar pencernaan. Selebihnya, apapun adanya dirimu, bahagialah.

Operasi Plastik

Cara ini ditempuh biasanya untuk menjadikan penampilan tampak sempurna dalam pandangannya. Beberapa bagian yang kerap menjadi “pesakitan” gara-gara sang pembawa amanah kurang bersyukur adalah bagian hidung, mata, dagu, payudara, pinggang, dan daerah pantat. Sayangnya cara seperti ini pun tak bertahan lama, harus selalu diulang dalam periode tertentu (tersiksanyaaa....pen). Tapi ya begitulah, demi sebuah kecantikan apapun rela dilakukan.

Lantas apa yang sebaiknya kita lakukan sebagai seorang muslimah agar penampilan tetap cantik menarik? Ya, lakukanlah perawatan sewajarnya tanpa harus banyak mengubah setiap apa yang Allah titipkan atas tubuh kita. Banyak sekarang kita dapati cara dari mulai spa sampai perawatan ala rumahan bisa dilakukan. Sesuaikan selalu dengan budget yang kita punya. Jangan sampai memaksakan diri.

Sebenarnya, pada awalnya mungkin kecantikan amat menentukan kesan pertama seseorang, namun selebihnya kecantikan hati yang akan berperan banyak atas baik tidaknya sebuah hubungan. Maka, selain kecantikan fisik, kecantikan batin pun perlu juga diperhatikan.

Kecantikan jangan dijadikan sebagai Tuhan yang membuat kita melabrak aturan agama. Kecantikan bukanlah sebuah jaminan atas kebahagiaan. Bukan pula ukuran suksesnya kehidupan seseorang. Kecantikan adalah sebuah ujian yan tak semua wanita mampu mengembannya. Bukankah banyak pria dan wanita terpeleset kehidupannya gara-gara kecantikan? Bukankah tak sedikit kecantikan dieksploitasi sekedar untuk mendapat keuntungan? Dan kebahagiaan berumah tangga pun tidak melulu berkorelasi lurus dengan kecantikan seseorang. Yang wajahnya biasa, justru rumah tangganya adem ayem, awet bahagia. Dan yang berparas cantik justru sebaliknya.

Shalihat, mari kita benahi konsep cantik kita. Cantik yang menyatukan diri dengan norma agama yang kita anut. Karena cantik itu adalah perawatan, bukan mengubah sesuatu yang telah Allah karuniakan.

Share:

HATI-HATI WAHAI HATI BAG. II

Entahlah, Akhir-akhir ini -Agustus 2018- saya mendapat banyak curhatan beberapa teman tentang masalah yang menimpa keluarga besarnya atau rumah tangganya. Semuanya memiliki kesamaan masalah, yaitu tentang poligami. Aduuuh, ngeri saya mendengar ceritanya. Tak percaya, demikian seram. Walau tahu segalanya memungkinkan terjadi di dunia ini bila Allah sudah menetapkan, tapi yaaa...bila orang-orang terdekat sendiri yang bertutur, rasanya tak percaya. Ya Allah....beberapa hari rasanya saya ingin menangis. Tidak menyangka, demikian berat mereka menanggung masalah. Bantu tak bisa, menampung keluhannya pun benar-benar menyedot hampir sebagian besar energi diri. Hati kerap terbawa perasaan. Kok ya tega mereka bisa berbuat seperti itu terhadap keluarganya sendiri. 

Saya paparkan ulang cerita itu di sini. Berharap, siapapun yang membaca mendapat pelajaran berharga betapa keluarga yang sebenarnya adalah sebuah tempat kita saling menjaga, melindungi, mengayomi, menguatkan sendi-sendi kebahagiaan, menalikan hati dalam sebuah ikatan cinta yang suci, saling mendukung dalam kebaikan dan ketaatan,  bisa menjadi neraka dunia ketika nafsu diperturutkan. Kebaikan lenyap secara perlahan, seperti menguapnya rasa cinta terhadap pasangan. Bahagia pun tak berbentuk rupa. Hambar. Bahkan sang istri sudah tak mengenali perasaannya sendiri terhadap suami. Yang lebih miris lagi adalah ketika mereka pun hampir bersuara sama bahwa pelayanan yang diberikan terhadap pasangan pada akhirnya dilakukan hanyalah sebagai sebuah kewajiban. Memang sudah seharusnya mereka begitu. (Ya Rabb.... betapa tegarnya mereka, bisikku dalam hati).

Masing-masing kisah, saya beri nomor. Untuk mempermudah saja. Kita mulai yaaa....


Bismillah.

Cerita satu

Sudah agak lama tidak bertemu dengan teman shalihatku yang satu ini. Kesibukan satu sama lain, membuat kami jarang bertemu. Ketika itu dalam sebuah kajian, kami berbicara banyak. Kerinduan yang tersimpan membuat banyak cerita ditumpahkan. Bahagia rasanya. Sampai kemudian tiba dimana dia menceritakan tentang sebuah masalah besar yangmenimpa kedua orangtuanya. Sang Ayah yang sudah divonis menderita sakit jantung parah dengan usia yang sudah demikian sepuh masih menyimpan keinginan besar untuk menikah kembali dengan salah seorang wanita yang dikenalnya dan berprofesi sebagai seorang pengajar. Keinginan tersebut sebenarnya sudah lama diutarakan beberapa belas tahun yang lalu, namun karena ibunya menolak bahkan meminta cerai, ayahnya urung melakukan hal itu. Bisa kebayang khan, gimana akan kelimpungannya sang ayah bila hidup tanpa ibu (istrinya). Sosok yang selama ini  setia mendampingi dalam jatuh bangunnya kehidupan, yang menyiapkan hampir sebagian besar keperluan dan kebutuhan dirinya. Kemudian menyediakan dirinya gambling dengan memulai kehidupan kembali dengan istri baru yang belum tentu setia dan belanya sama baiknya seperti istri pertamanya. 

Keinginan sang ayah untuk poligami tidak tercapai, membuatnya kerapkali menyakiti sang istri. Dia masih melakukan hubungan dengan wanita idaman lainnya tersebut, dan itu teramat menyakitkan. Anak-anaknya yang berusaha menyadarkan sang ayah pun dianggap lalu. Sang ibu pun dengan ketegaran yang ada, tetap berusaha melayani ayahnya selaiknya seorang istri terhadap suami. Kebutuhannya dilayani, keperluannya dipenuhi dengan memendam sakit hati yang tak berkesudahan. Sang ayah tak kunjung menceraikan ibunya, namun kerap menyakitinya. Astagfirullah.

Cerita dua

Cerita yang hampir senada dengan cerita di atas. Hanya tipikal suami yang satu ini ketahuan sudah memiliki istri kedua setelah memiliki tiga orang anak. Keluarganya begitu syok. Anak-anaknya marah, istrinya sakit hati dan menangis. Beberapa bulan dari sana, ketahuan lagi ayahnya sedang mendekati seorang perempuan lain yang masih memiliki hubungan kekerabatan (jauh). Betapa marahnya anak-anak. Tapi kemarahan mereka pun tidak menyurutkan langkahnya untuk melakukan nikah siri. Ibunya menangis siang-malam. Rasanya itu...tak terbayangkan. Ayahnya yang selama ini dalam hal ekonomi terbantu banyak oleh ibunya yang adalah seorang Pegawai Negeri Sipil, harta kekayaan keluarga pun lebih banyak didapat dari keluarga ibunya, seolah menutup mata. Tak menyangka, ayahnya yang demikian dekat dengan anak-anaknya, tega berbuat demikian. Akhirnya, mata sang ibu pun sakit saking banyaknya menangis. Ada guratan merah di matanya, demikian pengakuan sang anak menuturkan kisah kehidupan rumah tangga orangtuanya.

Sampai pada satu kesempatan, ketika anak-anaknya mengingatkan ayahnya yang sudah sepuh dan untuk lebih peduli pada ibunya, ingat pada usia yang sudah tak muda lagi, sang ayah malah mengatakan, “Urus saja hidupmu sendiri. “. Jlleebbbb.... hati anak pun terluka oleh perkataan ayahnya sendiri. Hubungan mereka akhirnya menjadi terganggu. Sang anak enggan untuk menemui ayahnya sendiri walau dalam hati mereka pun merasakan sebuah kerinduan akan sosok ayahnya yang dulu demikian perhatian. Miris.

Cerita tiga

Kalau yang ini agak lain. Sebab pernikahan siri sang suami akhirnya dengan alasan merasa kasihan dan sayang dilegalkan oleh istri pertamanya dengan harapan dia dan istri kedua bisa berjalan bersama-sama menggayuh rumah tangga dengan suami yang sama. Sayang, di tengah perjalanan, tabiat istri kedua berubah. Menampakkan keberaniannya, dan demonstratif memperlihatkan sisa cumbunya dengan suami. Kontan membuatnya cemburu berat. Kisah pun bergulir hingga sang istri kedua bersama dengan suaminya berani untuk mengubah akte keluarga menghilangkan nama suami dalam akte keluarga istri pertamanya, dan mencantumkan nama suami hanya pada akte keluarga dengan istri keduanya. Perbuatan tersebut akhirnya ketahuan, marahlah istri pertama, dan akhirnya bulat tekadnya untuk meminta cerai. Dari semenjak istri pertama sadar bahwa ternyata dugaannya bahwa poligami bisa dijalani baik adalah salah, cikal bakal masalah pertama sudah mulai muncul. Bertunaslah masalah itu semakin banyak dan rumit. Dalam cintanya yang masih tersisa pada suami, sang istri mengekspresikan kemarahan dan penyesalannya dengan cara menceritakan “aib” suami dan istri keduanya sedemikian rupa, hingga hubungannya dengan suami pun berubah banyak. Saling melukai sekalipun hidup dalam satu atap rumah. Fisik mereka bersama, namun batin berjauhan satu sama lain. Dan itu berjalan dalam waktu yang tak sebentar. Astagfirullah. Benar-benar tidak disangka sampai sejauh itu.

Cerita empat

Pada hari Raya Iedhul Adha, Agustus 2018, saya diajak suami untuk melihat penyembelihan hewan qurban di salah satu temannya yang berada di daerah Wanaraja. Di saat suami sibuk memperhatikan penyembelihan, saya pun bergabung bersama ibu-ibu lainnya menyiapkan makan siang panitia. Ngobrol kesana-kemari mendekatkan diri. Karena terus terang, kami baru bertemu pertama kali hari itu. Namun demikian, rasanya obrolan kami nyambung. Kami tertawa bersama.

Ketika sedang membantu istri dari teman suami membuat minuman dari kelapa muda yang juga adalah pemilik tempat nan luas itu (mereka kaya boooo....), tiba-tiba dia menceritakan tentang kedaan rumah tangganya. Terkejut, karena merasa bahwa kami baru pertama bertemu dan dia pun belum mengenal saya dengan baik, tapi sudah demikian terbukanya curhat tentang rumah tangganya –tepatnya suaminya. Dari sanalah saya tahu bahwa suaminya sudah pernah memiliki “madu” beberapa kali. Bahkan anak-anak dari salah satu madunya yang meninggal, ibu itu sendiri yang mengurusnya. Kini suaminya pun sudah memiliki istri baru, masih muda, dan baru melahirkan bayi beberapa bulan yang lalu. Ironisnya, istri ke sekiannya itu masih memiliki hubungan saudara jauh dengan istrinya yang pertama. Dan berkecenderungan memiliki sikap lebih “berani” dibanding istri pertama. Astagfirullah, dalam hati saya berucap berkali-kali.

Istri mudanya saat itu pun datang ke lokasi dengan mobil barunya sambil menggendong bayinya. Memang, saya pun mengakui kalau wanita itu begitu cantik dan masih muda. Sayang, sadar posisinya kurang bagus, dia begitu menjaga jarak, tak ada salam, tak ada keramahan, bahkan tak ada sowan pada kakak madunya –istri pertama pak haji. Kalau kata anak gaul sekarang mah: elu-elu...gue-gue. Ya sudah....lagipula kami tidak memiliki keperluan apapun dengannya. Saya pun turut tak mempedulikannya. Enggan beramah-tamah atau meramah-ramahkan diri. Tidaklah....

Melihat ketegaran ibu tersebut saya merasa salut. Di ujung kegiatan, ibu itu pun pamit pulang duluan karena ada keperluan. Saya peluk dia erat, dambil berucap dan berdoa, “Ibu sangat sabar, kuat, ahlul Jannah. Barakallahu fiik...Ibu. “

“Aamiin, “ Sahutnya tersenyum.

Dia tersenyum, dan pergi berlalu menuju mobil yang telah menunggunya sedari tadi.

Cerita Lima

Seorang istri yang dipoligami oleh suaminya, dan suaminya tidak bersikap adil kepadanya. Hal yang dipenuhinya hanyalah kebutuhan lahir, uang belanja. Waktunya lebih bayak dihabiskan di rumah istri keduanya, bahkan kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan batin pada istri pertama sudah tidak dijalankannya lagi. Beruntung, istrinya memiliki sikap untuk berdamai dengan keadaan walau rasa sakit hati itu tak bisa dilupakan begitu saja. Bahkan dia sampai berani mengatakan, tidak adanya suami di rumah adalah lebih baik. Dirinya lebih tenang. Karena ada pun belum tentu hatinya sepenuhnya untuk dia dan keluarga pertamanya.

Namun demikian, sikapnya pada suami tetap baik, bila suami datang dilayani, dan tidak mempermasalahkan apapun asal suami tetap memberikan uang nafkah, dan mudah dihubungi ketika dia sedang membutuhkannya.

Dari kelima cerita di atas, pada akhirnya yang menjadi korban atas sebuah pernikahan poligami sekedar memperturutkan nafsu adalah istri dan anak-anaknya. Keinginan yang besar tanpa diiringi ilmu, dan pendidikan terhadap keluarga yang memadai tentang itu menyeret diri dan rumah tangganya dalam sebuah masalah besar yang akhirnya menjadi pembicaraan kurang baik orang-orang di sekitarnya. Sepandai apapun menyembunyikan “terasi” perbuatan, akhirnya bau keburukannya akan menyebar juga kemana-mana.

Ada banyak pelajaran yang kemudian saya dapatkan dari kisah mereka, tentang kesabaran, ketegaran, perjuangan, sekaligus penderitaan. Tak bisa dinafikan, kebahagiaan rumah tangga ada yang terenggut. Tak utuh seperti semula.

Hidup memang tak bisa kita prediksikan. Apa yang akan kita hadapi di depan, sama sekali gelap, gaib. Kita hanya berusaha yang terbaik untuk keluarga, namun kadang  sebaik apapun kita mengelola rumah tangga, mengurus diri sendiri, dan melayani suami, faktanya itu bukanlah sebuah jaminan bahwa pasangan akan bersikap setia menjaga keutuhan rumah tangga. Suami-istri memiliki peluang yang sama, hadirnya “cinta” lain di tengah perjalanan rumah tangga yang sedang dibangun. Apalagi jaman sekarang boooo, yang segalanya serba memungkinkan. Hanya mereka yang memiliki imun diri cukup baik dan komitmen yang kuat atas pernikahanlah yang cenderung akan lebih tahan godaan di luar sana. Selebihnya, tepar.
Ada dua sikap secara keumuman yang muncul dari seorang istri ketika dihadapkan pada masalah yang sama tentang poligami: ada yang tetap berusaha bertahan apapun keadaannya, dan ada yang lebih memilih bercerai.

Beberapa alasan yang mereka sampaikan mengapa mengambil keputusan untuk bertahan, rata-rata karena anak. Siapa yang nanti akan mengurus dan membiayai kebutuhan mereka bila bercerai. Kekhawatiran akan masa depan anak-anaknya yang menjadi alasan terbesar sikap bertahan dan berjuang untuk selalu mengatasi suasana hatinya yang bak roller coaster. Adapun yang memilih bercerai, karena ketidaksanggupannya untuk berbagi “hati”. Daripada hidup menderita (demikian saya katakan), lebih baik memilih menata hidup sendiri dan mandiri. Soal anak-anak, nanti mereka akan memahami seiring bertambahnya usia mereka.

Sayangnya, ternyata tidak semua suami sanggup menerima keputusan istrinya untuk bercerai. Ada sebagian di antaranya yang egois keukeuh ingin menikah dengan tanpa harus menceraikan istri pertama. Rumah Tangga diperbaiki tidak, menyakitinya iya. Keinginan sendiri ingin dimengerti, tapi gagal memahami keinginan istrinya sendiri. 

Mirisnya, dari kelima kisah tadi, hanya satu yang menurut saya -paling tidak- caranya berpoligami lebih baik. Istri tetap melayani (sekalipun dia sudah merasa sulit mengenal perasaannya sendiri terhadap suami). Kebutuhan lahir batin tetap terpenuhi, karena secara ekonomi memang hartanya demikian berlebih. Sedang kisah lainnya, no comment. Bukan contoh yang baik untuk diikuti.

Wanita-wanita itu sungguh luar biasa. Semoga Allah senantiasa memberkahi dan merahmati mereka semua, saudari shalihatku tersayang. Aamiin.

Pada akhirnya, diakui atau tidak, tidak semua laki-aki mampu dan sanggup untuk melakukan poligami. Minim ilmu, ketidakadilan, dan keterbatasan dalam hal lainnya (ekonomi, misalnya) menjadi bumerang tersendiri. Sama seperti halnya, kaum wanita pun tidak semuanya mampu untuk dipoligami. Dan itu harus dihargai.

Maka benarlah apa yang disampaikan oleh Ustadz Adi Hidayat dalam salah satu sesi kajiannya, hati-hati dengan poligami. Ada hal yang harus diperhatikan dan dipersiapkan seorang suami sebelum melangkah ke sana. Ilmunya harus dipenuhi, mendidik keluarga terlebih dahulu, terutama istrinya. Jangan sampai kemudian keputusan berpoligami menimbulkan masalah baru danmemporakporandakan rumah tangga yang ada.

Ustadz Buya Yahya pun memberikan nasihat paling bijak yang saya ketahui sejauh ini. Penjelasannya demikian terang, penuh nasihat sekaligus teguran untuk tak menggampangkan perkara poligami. Apalagi menjadikannya sebagai bahan guyonan yang menjadikan syari’at ini jatuh menjadi buruk akibat kesalahan para pelaku poligami.

Terlepas dari itu semua, kita semua tentu saja berharap bahwa sekuat apapun badai menghantam bahtera rumah tangga yang sedang dijalani, masa itu terlewati dengan selamat. Anggota keluarga bisa keluar dari amukan ombak besar dengan membawa ketenangan, kelegaan, dan kebahagiaan pada akhirnya. Bagaimanapun, keluarga adalah harta terbesar kita. Kebahagiaan sejati kita. Jangan sampai dirusak hanya untuk sekedar memperturutkan nafsu sesaat. Bila sempat khilaf, pulihkan kesadaran, dan kembali lagi ke rumah, keluarga tempat kita menyemai harapan, cita-cita, kebahagiaan bersama. Apalah artinya bahagia sesi kedua, bila dengan itu kita mengoyak rumah tangga yang dibangun sekian lama. Menafikan seluruh perjuangan tak mudah yang berhasil dilewati bersama pasangan. Barangkali, boleh saja pasangan kita ada satu dua kekurangan yang membuat kita kecewa atau merasa tak terpuaskan. Namun ingat pula, kelemahan pun melekat sama pada diri kita. Daripada saling menyalahkan, bukankah akan lebih baik lagi bila sama-sama mengoreksi diri, memperbaiki keadaan. Tak perlu saling menyalahkan. Sudah bukan saatnya lagi.

Berkacalah selalu pada pengalaman-pengalaman orang lain tentang keadaan rumah tangganya. Ambillah nasihat dari mereka. Pada dasarnya, semua kisah, sejarah, dan masalah kehidupan adalan pengulangan. Hanya beda pemeran, waktu, dan alur cerita.

Kehidupan memberikan kita pilihan-pilihan. Disanalah takdir diri dikukuhkan hendak dibawa kemana kehidupan diri menuju. Yang jelas, semua dari kita berharap bahwa takdir baiklah yang menyapa, baik untuk diri, maupun orang-orang terdekat yang kita cintai. Selalu fikirkan matang-matang sebelum mengambil sebuah keputusan besar yang berpengaruh banyak pada mereka. Tujuan akhir hidup dan kehidupan seperti apa, kesanalah segala usaha fokus ditempuhi. 

Wallahu’alam.

Materi tulisan yang senada, silahkan HATI-HATI WAHAI HATI

Share:

Popular

Pengunjung saat ini

Ruang Siar

Label

Label Cloud