Entahlah,
Akhir-akhir ini -Agustus 2018- saya mendapat banyak curhatan beberapa teman
tentang masalah yang menimpa keluarga besarnya atau rumah tangganya. Semuanya
memiliki kesamaan masalah, yaitu tentang poligami. Aduuuh, ngeri saya mendengar
ceritanya. Tak percaya, demikian seram. Walau tahu segalanya memungkinkan
terjadi di dunia ini bila Allah sudah menetapkan, tapi yaaa...bila orang-orang
terdekat sendiri yang bertutur, rasanya tak percaya. Ya Allah....beberapa hari
rasanya saya ingin menangis. Tidak menyangka, demikian berat mereka menanggung
masalah. Bantu tak bisa, menampung keluhannya pun benar-benar menyedot hampir
sebagian besar energi diri. Hati kerap terbawa perasaan. Kok ya tega mereka
bisa berbuat seperti itu terhadap keluarganya sendiri.
Saya
paparkan ulang cerita itu di sini. Berharap, siapapun yang membaca mendapat
pelajaran berharga betapa keluarga yang sebenarnya adalah sebuah tempat kita
saling menjaga, melindungi, mengayomi, menguatkan sendi-sendi kebahagiaan,
menalikan hati dalam sebuah ikatan cinta yang suci, saling mendukung dalam
kebaikan dan ketaatan, bisa menjadi
neraka dunia ketika nafsu diperturutkan. Kebaikan lenyap secara perlahan,
seperti menguapnya rasa cinta terhadap pasangan. Bahagia pun tak berbentuk
rupa. Hambar. Bahkan sang istri sudah tak mengenali perasaannya sendiri
terhadap suami. Yang lebih miris lagi adalah ketika mereka pun hampir bersuara
sama bahwa pelayanan yang diberikan terhadap pasangan pada akhirnya dilakukan
hanyalah sebagai sebuah kewajiban. Memang sudah seharusnya mereka begitu. (Ya
Rabb.... betapa tegarnya mereka, bisikku dalam hati).
Masing-masing
kisah, saya beri nomor. Untuk mempermudah saja. Kita mulai yaaa....
Bismillah.
Cerita satu
Sudah
agak lama tidak bertemu dengan teman shalihatku yang satu ini. Kesibukan satu
sama lain, membuat kami jarang bertemu. Ketika itu dalam sebuah kajian, kami
berbicara banyak. Kerinduan yang tersimpan membuat banyak cerita ditumpahkan.
Bahagia rasanya. Sampai kemudian tiba dimana dia menceritakan tentang sebuah
masalah besar yangmenimpa kedua orangtuanya. Sang Ayah yang sudah divonis
menderita sakit jantung parah dengan usia yang sudah demikian sepuh masih
menyimpan keinginan besar untuk menikah kembali dengan salah seorang wanita
yang dikenalnya dan berprofesi sebagai seorang pengajar. Keinginan tersebut
sebenarnya sudah lama diutarakan beberapa belas tahun yang lalu, namun karena
ibunya menolak bahkan meminta cerai, ayahnya urung melakukan hal itu. Bisa
kebayang khan, gimana akan kelimpungannya sang ayah bila hidup tanpa ibu
(istrinya). Sosok yang selama ini setia
mendampingi dalam jatuh bangunnya kehidupan, yang menyiapkan hampir sebagian
besar keperluan dan kebutuhan dirinya. Kemudian menyediakan dirinya gambling
dengan memulai kehidupan kembali dengan istri baru yang belum tentu setia dan
belanya sama baiknya seperti istri pertamanya.
Keinginan
sang ayah untuk poligami tidak tercapai, membuatnya kerapkali menyakiti sang
istri. Dia masih melakukan hubungan dengan wanita idaman lainnya tersebut, dan
itu teramat menyakitkan. Anak-anaknya yang berusaha menyadarkan sang ayah pun
dianggap lalu. Sang ibu pun dengan ketegaran yang ada, tetap berusaha melayani
ayahnya selaiknya seorang istri terhadap suami. Kebutuhannya dilayani, keperluannya
dipenuhi dengan memendam sakit hati yang tak berkesudahan. Sang ayah tak
kunjung menceraikan ibunya, namun kerap menyakitinya. Astagfirullah.
Cerita dua
Cerita
yang hampir senada dengan cerita di atas. Hanya tipikal suami yang satu ini
ketahuan sudah memiliki istri kedua setelah memiliki tiga orang anak.
Keluarganya begitu syok. Anak-anaknya marah, istrinya sakit hati dan menangis.
Beberapa bulan dari sana, ketahuan lagi ayahnya sedang mendekati seorang
perempuan lain yang masih memiliki hubungan kekerabatan (jauh). Betapa marahnya
anak-anak. Tapi kemarahan mereka pun tidak menyurutkan langkahnya untuk
melakukan nikah siri. Ibunya menangis siang-malam. Rasanya itu...tak
terbayangkan. Ayahnya yang selama ini dalam hal ekonomi terbantu banyak oleh ibunya
yang adalah seorang Pegawai Negeri Sipil, harta kekayaan keluarga pun lebih
banyak didapat dari keluarga ibunya, seolah menutup mata. Tak menyangka,
ayahnya yang demikian dekat dengan anak-anaknya, tega berbuat demikian.
Akhirnya, mata sang ibu pun sakit saking banyaknya menangis. Ada guratan merah
di matanya, demikian pengakuan sang anak menuturkan kisah kehidupan rumah
tangga orangtuanya.
Sampai
pada satu kesempatan, ketika anak-anaknya mengingatkan ayahnya yang sudah sepuh
dan untuk lebih peduli pada ibunya, ingat pada usia yang sudah tak muda lagi,
sang ayah malah mengatakan, “Urus saja hidupmu sendiri. “. Jlleebbbb.... hati
anak pun terluka oleh perkataan ayahnya sendiri. Hubungan mereka akhirnya
menjadi terganggu. Sang anak enggan untuk menemui ayahnya sendiri walau dalam
hati mereka pun merasakan sebuah kerinduan akan sosok ayahnya yang dulu
demikian perhatian. Miris.
Cerita tiga
Kalau
yang ini agak lain. Sebab pernikahan siri sang suami akhirnya dengan alasan
merasa kasihan dan sayang dilegalkan oleh istri pertamanya dengan harapan dia
dan istri kedua bisa berjalan bersama-sama menggayuh rumah tangga dengan suami
yang sama. Sayang, di tengah perjalanan, tabiat istri kedua berubah.
Menampakkan keberaniannya, dan demonstratif memperlihatkan sisa cumbunya dengan
suami. Kontan membuatnya cemburu berat. Kisah pun bergulir hingga sang istri
kedua bersama dengan suaminya berani untuk mengubah akte keluarga menghilangkan
nama suami dalam akte keluarga istri pertamanya, dan mencantumkan nama suami
hanya pada akte keluarga dengan istri keduanya. Perbuatan tersebut akhirnya
ketahuan, marahlah istri pertama, dan akhirnya bulat tekadnya untuk meminta
cerai. Dari semenjak istri pertama sadar bahwa ternyata dugaannya bahwa
poligami bisa dijalani baik adalah salah, cikal bakal masalah pertama sudah
mulai muncul. Bertunaslah masalah itu semakin banyak dan rumit. Dalam cintanya
yang masih tersisa pada suami, sang istri mengekspresikan kemarahan dan
penyesalannya dengan cara menceritakan “aib” suami dan istri keduanya sedemikian
rupa, hingga hubungannya dengan suami pun berubah banyak. Saling melukai
sekalipun hidup dalam satu atap rumah. Fisik mereka bersama, namun batin
berjauhan satu sama lain. Dan itu berjalan dalam waktu yang tak sebentar.
Astagfirullah. Benar-benar tidak disangka sampai sejauh itu.
Cerita empat
Pada
hari Raya Iedhul Adha, Agustus 2018, saya diajak suami untuk melihat
penyembelihan hewan qurban di salah satu temannya yang berada di daerah
Wanaraja. Di saat suami sibuk memperhatikan penyembelihan, saya pun bergabung
bersama ibu-ibu lainnya menyiapkan makan siang panitia. Ngobrol kesana-kemari
mendekatkan diri. Karena terus terang, kami baru bertemu pertama kali hari itu.
Namun demikian, rasanya obrolan kami nyambung. Kami tertawa bersama.
Ketika
sedang membantu istri dari teman suami membuat minuman dari kelapa muda yang
juga adalah pemilik tempat nan luas itu (mereka kaya boooo....), tiba-tiba dia
menceritakan tentang kedaan rumah tangganya. Terkejut, karena merasa bahwa kami
baru pertama bertemu dan dia pun belum mengenal saya dengan baik, tapi sudah
demikian terbukanya curhat tentang rumah tangganya –tepatnya suaminya. Dari
sanalah saya tahu bahwa suaminya sudah pernah memiliki “madu” beberapa kali.
Bahkan anak-anak dari salah satu madunya yang meninggal, ibu itu sendiri yang
mengurusnya. Kini suaminya pun sudah memiliki istri baru, masih muda, dan baru
melahirkan bayi beberapa bulan yang lalu. Ironisnya, istri ke sekiannya itu
masih memiliki hubungan saudara jauh dengan istrinya yang pertama. Dan berkecenderungan
memiliki sikap lebih “berani” dibanding istri pertama. Astagfirullah, dalam
hati saya berucap berkali-kali.
Istri
mudanya saat itu pun datang ke lokasi dengan mobil barunya sambil menggendong
bayinya. Memang, saya pun mengakui kalau wanita itu begitu cantik dan masih
muda. Sayang, sadar posisinya kurang bagus, dia begitu menjaga jarak, tak ada
salam, tak ada keramahan, bahkan tak ada sowan pada kakak madunya –istri
pertama pak haji. Kalau kata anak gaul sekarang mah: elu-elu...gue-gue. Ya sudah....lagipula
kami tidak memiliki keperluan apapun dengannya. Saya pun turut tak
mempedulikannya. Enggan beramah-tamah atau meramah-ramahkan diri. Tidaklah....
Melihat
ketegaran ibu tersebut saya merasa salut. Di ujung kegiatan, ibu itu pun pamit
pulang duluan karena ada keperluan. Saya peluk dia erat, dambil berucap dan
berdoa, “Ibu sangat sabar, kuat, ahlul Jannah. Barakallahu fiik...Ibu. “
“Aamiin,
“ Sahutnya tersenyum.
Dia
tersenyum, dan pergi berlalu menuju mobil yang telah menunggunya sedari tadi.
Cerita Lima
Seorang
istri yang dipoligami oleh suaminya, dan suaminya tidak bersikap adil
kepadanya. Hal yang dipenuhinya hanyalah kebutuhan lahir, uang belanja.
Waktunya lebih bayak dihabiskan di rumah istri keduanya, bahkan kewajibannya
untuk memenuhi kebutuhan batin pada istri pertama sudah tidak dijalankannya
lagi. Beruntung, istrinya memiliki sikap untuk berdamai dengan keadaan walau
rasa sakit hati itu tak bisa dilupakan begitu saja. Bahkan dia sampai berani
mengatakan, tidak adanya suami di rumah adalah lebih baik. Dirinya lebih
tenang. Karena ada pun belum tentu hatinya sepenuhnya untuk dia dan keluarga
pertamanya.
Namun
demikian, sikapnya pada suami tetap baik, bila suami datang dilayani, dan tidak
mempermasalahkan apapun asal suami tetap memberikan uang nafkah, dan mudah
dihubungi ketika dia sedang membutuhkannya.
Dari
kelima cerita di atas, pada akhirnya yang menjadi korban atas sebuah pernikahan
poligami sekedar memperturutkan nafsu adalah istri dan anak-anaknya. Keinginan
yang besar tanpa diiringi ilmu, dan pendidikan terhadap keluarga yang memadai
tentang itu menyeret diri dan rumah tangganya dalam sebuah masalah besar yang
akhirnya menjadi pembicaraan kurang baik orang-orang di sekitarnya. Sepandai
apapun menyembunyikan “terasi” perbuatan, akhirnya bau keburukannya akan
menyebar juga kemana-mana.
Ada
banyak pelajaran yang kemudian saya dapatkan dari kisah mereka, tentang
kesabaran, ketegaran, perjuangan, sekaligus penderitaan. Tak bisa dinafikan,
kebahagiaan rumah tangga ada yang terenggut. Tak utuh seperti semula.
Hidup
memang tak bisa kita prediksikan. Apa yang akan kita hadapi di depan, sama
sekali gelap, gaib. Kita hanya berusaha yang terbaik untuk keluarga, namun
kadang sebaik apapun kita mengelola
rumah tangga, mengurus diri sendiri, dan melayani suami, faktanya itu bukanlah
sebuah jaminan bahwa pasangan akan bersikap setia menjaga keutuhan rumah
tangga. Suami-istri memiliki peluang yang sama, hadirnya “cinta” lain di tengah
perjalanan rumah tangga yang sedang dibangun. Apalagi jaman sekarang boooo,
yang segalanya serba memungkinkan. Hanya mereka yang memiliki imun diri cukup
baik dan komitmen yang kuat atas pernikahanlah yang cenderung akan lebih tahan
godaan di luar sana. Selebihnya, tepar.
Ada
dua sikap secara keumuman yang muncul dari seorang istri ketika dihadapkan pada
masalah yang sama tentang poligami: ada yang tetap berusaha bertahan apapun
keadaannya, dan ada yang lebih memilih bercerai.
Beberapa
alasan yang mereka sampaikan mengapa mengambil keputusan untuk bertahan,
rata-rata karena anak. Siapa yang nanti akan mengurus dan membiayai kebutuhan
mereka bila bercerai. Kekhawatiran akan masa depan anak-anaknya yang menjadi
alasan terbesar sikap bertahan dan berjuang untuk selalu mengatasi suasana
hatinya yang bak roller coaster. Adapun yang memilih bercerai, karena
ketidaksanggupannya untuk berbagi “hati”. Daripada hidup menderita (demikian
saya katakan), lebih baik memilih menata hidup sendiri dan mandiri. Soal
anak-anak, nanti mereka akan memahami seiring bertambahnya usia mereka.
Sayangnya,
ternyata tidak semua suami sanggup menerima keputusan istrinya untuk bercerai.
Ada sebagian di antaranya yang egois keukeuh ingin menikah dengan tanpa harus
menceraikan istri pertama. Rumah Tangga diperbaiki tidak, menyakitinya iya.
Keinginan sendiri ingin dimengerti, tapi gagal memahami keinginan istrinya
sendiri.
Mirisnya,
dari kelima kisah tadi, hanya satu yang menurut saya -paling tidak- caranya
berpoligami lebih baik. Istri tetap melayani (sekalipun dia sudah merasa sulit
mengenal perasaannya sendiri terhadap suami). Kebutuhan lahir batin tetap
terpenuhi, karena secara ekonomi memang hartanya demikian berlebih. Sedang
kisah lainnya, no comment. Bukan contoh yang baik untuk diikuti.
Wanita-wanita
itu sungguh luar biasa. Semoga Allah senantiasa memberkahi dan merahmati mereka
semua, saudari shalihatku tersayang. Aamiin.
Pada
akhirnya, diakui atau tidak, tidak semua laki-aki mampu dan sanggup untuk
melakukan poligami. Minim ilmu, ketidakadilan, dan keterbatasan dalam hal
lainnya (ekonomi, misalnya) menjadi bumerang tersendiri. Sama seperti halnya,
kaum wanita pun tidak semuanya mampu untuk dipoligami. Dan itu harus dihargai.
Maka
benarlah apa yang disampaikan oleh Ustadz Adi Hidayat dalam salah satu sesi
kajiannya, hati-hati dengan poligami. Ada hal yang harus diperhatikan dan dipersiapkan
seorang suami sebelum melangkah ke sana. Ilmunya harus dipenuhi, mendidik
keluarga terlebih dahulu, terutama istrinya. Jangan sampai kemudian keputusan
berpoligami menimbulkan masalah baru danmemporakporandakan rumah tangga yang
ada.
Ustadz
Buya Yahya pun memberikan nasihat paling bijak yang saya ketahui sejauh ini. Penjelasannya demikian terang, penuh
nasihat sekaligus teguran untuk tak menggampangkan perkara poligami. Apalagi
menjadikannya sebagai bahan guyonan yang menjadikan syari’at ini jatuh menjadi
buruk akibat kesalahan para pelaku poligami.
Terlepas
dari itu semua, kita semua tentu saja berharap bahwa sekuat apapun badai
menghantam bahtera rumah tangga yang sedang dijalani, masa itu terlewati dengan
selamat. Anggota keluarga bisa keluar dari amukan ombak besar dengan membawa
ketenangan, kelegaan, dan kebahagiaan pada akhirnya. Bagaimanapun, keluarga
adalah harta terbesar kita. Kebahagiaan sejati kita. Jangan sampai dirusak
hanya untuk sekedar memperturutkan nafsu sesaat. Bila sempat khilaf, pulihkan
kesadaran, dan kembali lagi ke rumah, keluarga tempat kita menyemai harapan,
cita-cita, kebahagiaan bersama. Apalah artinya bahagia sesi kedua, bila dengan
itu kita mengoyak rumah tangga yang dibangun sekian lama. Menafikan seluruh
perjuangan tak mudah yang berhasil dilewati bersama pasangan. Barangkali, boleh
saja pasangan kita ada satu dua kekurangan yang membuat kita kecewa atau merasa
tak terpuaskan. Namun ingat pula, kelemahan pun melekat sama pada diri kita.
Daripada saling menyalahkan, bukankah akan lebih baik lagi bila sama-sama
mengoreksi diri, memperbaiki keadaan. Tak perlu saling menyalahkan. Sudah bukan
saatnya lagi.
Berkacalah
selalu pada pengalaman-pengalaman orang lain tentang keadaan rumah tangganya.
Ambillah nasihat dari mereka. Pada dasarnya, semua kisah, sejarah, dan masalah kehidupan adalan pengulangan. Hanya beda pemeran, waktu, dan alur cerita.
Kehidupan memberikan kita pilihan-pilihan. Disanalah takdir diri dikukuhkan hendak dibawa kemana kehidupan diri menuju. Yang jelas, semua dari kita berharap bahwa takdir baiklah yang menyapa, baik untuk diri, maupun orang-orang terdekat yang kita cintai. Selalu fikirkan matang-matang sebelum mengambil sebuah keputusan besar yang berpengaruh banyak pada mereka. Tujuan akhir hidup dan kehidupan seperti apa, kesanalah segala usaha fokus ditempuhi.
Kehidupan memberikan kita pilihan-pilihan. Disanalah takdir diri dikukuhkan hendak dibawa kemana kehidupan diri menuju. Yang jelas, semua dari kita berharap bahwa takdir baiklah yang menyapa, baik untuk diri, maupun orang-orang terdekat yang kita cintai. Selalu fikirkan matang-matang sebelum mengambil sebuah keputusan besar yang berpengaruh banyak pada mereka. Tujuan akhir hidup dan kehidupan seperti apa, kesanalah segala usaha fokus ditempuhi.
Wallahu’alam.
Materi
tulisan yang senada, silahkan HATI-HATI WAHAI HATI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar