Setiap
orangtua pastilah berupaya sekeras mungkin untuk bisa merawat dan mendidik
anak-anaknya dengan baik. Berharap, kelak anak-anak yang dilahirkan dapat
menjadi pribadi yang shalih/ah. Itulah tujuan hampir semua orang tua. Termasuk kita.
Namun tentulah
harus kita sadari, bahwa karakter seorang anak terbentuk bukan saja sebagai
hasil didikan dari orang tua semata, akan tetapi juga mendapat pengaruh yang
cukup besar dari lingkungan sekitar. Lingkungan pendidikan, teman pergaulan, lingkungan
kerja, minat, pengalaman, dsb. Pada akhirnya,
seiring dengan bertambahnya usia anak, apalagi setelah memasuki masa akhil
baligh, maka sang anak semakin ingin menunjukkan kemandirian. Bukan saja dalam
hal ekonomi, dimana anak berusaha untuk bisa membiayai kebutuhannya sendiri,
akan tetapi juga keinginan mandiri dalam mengambil sikap/keputusan atas
hidupnya.
Pada kondisi ini,
seringkali muncul perbedaan-perbedaan antara didikan orangtua (dengan segala
harapannya) dengan langkah hidup yang diambil oleh seorang anak. Orangtua
mengharapkan anak begini, akan tetapi kenyataan justru berbicara sang anak
mengambil langkah sebaliknya. Padahal, sudah begitu banyak upaya yang dilakukan
orangtua dalam mendidik mereka. Berjibaku dengan pekerjaan demi memenuhi
kebutuhan keluarga.
Kecewa?! Sudah pasti.
Ada banyak rasa yang berkecamuk dalam hati orangtua, terutama ibu melihat
kehidupan anaknya tidaklah seperti yang diharapkannya. Ada perasaan telah gagal
sebagai ibu dalam mendidik. Muncul pula perasaan menyesal, marah, kecewa, dan
semua rasa bercampur-aduk. Namun demikianlah
hati mulia seorang ibu dengan ke’jembaran manah’nya, baik buruk anaknya
tetaplah anaknya yang akan selalu dia sayangi, dan doakan di sepanjang
hidupnya. Berharap sang anak akan segera menyadari kekhilafannya dan kembali
menempuh jalan yang seharusnya.
Memperhatikan beberapa
masalah yang kerap muncul dalam sebuah keluarga berkaitan dengan anak ‘nakal’,
serta nasihat-nasihat yang didapatkan dalam beberapa kesempatan pengajian, saya
pada akhirnya berkesimpulan: janganlah kita terlalu menyalahkan orangtua atas
kesalahan yang dilakukan oleh seorang anak. Sekalipun mungkin boleh jadi,
terdapat andil saham (sekecil apapun itu) atas kesalahan orangtua dalam mendidik
mereka, namun yang bertanggung jawab penuh atas bentuk sikap yang dimunculkan
seorang anak adalah dirinya sendiri. Maka kurang bijak rasanya apabila
gara-gara sikap anaknya, maka kita membawa-bawa nama orangtuanya, menyalahkan,
bahkan mengatakan orangtuanya tidak bisa mendidik anaknya.
Teramat sedikit pengetahuan
kita tentang upaya apa saja yang sudah dilakukan orangtuanya dalam mendidik
anak-anaknya. Kitapun tidak bisa menyelami perasaan terdalam orang tua atas
perilaku anaknya. Ingatlah….keluarga
para nabi dapat menjadi contoh untuk kita bisa lebih wise dalam memandang sesuatu.
Kita bisa belajar
dari beberapa ontoh keluarga para nabi:
1. Keluarga nabi
yang anak istrinya membangkang/melawannya adalah Nabi Luth,
2. Keluarga nabi
yang anaknya tidak sepemahaman dengannya adalah Nabi Nuh.
3. Lurusnya agama
dan baiknya akhlak Nabi saw pun tidak bisa menjadikan sang paman tercinta, Abu
Thalib, berubah keyakinan mengikuti ajakan
Nabi Muhammad saw.
Setingkat nabi
saja, yang tidak perlu diragukan lagi pemahaman agamanya, bagusnya akhlaknya,
baiknya pendidikan, teguhnya kesabaran dan ketegarannya, bukanlah jaminan atas anak
yang dilahirkan dan besarnya pengaruh yang diberikan pada keluarga besarnya.
Apatah lagi kita…manusia biasa yang memiliki banyak keterbatasan, tentulah
terdapat banyak kekurangan dalam mendidik anak-anak.
Dalam kehidupan ada
satu hal yang tidak boleh kita lupakan, yaitu HIDAYAH. Dan hidayah adalah hak prerogatif
Allah Swt. Hanya Dia-lah yang berhak menentukan siapa saja yang pantas menerima
hidayah-Nya. Karenanya, semoga
hal ini menjadikan kita lebih bijak dalam memandang sesuatu. Tidak selalu serta
merta menyalahkan orang tua atas setiap kesalahan yang dilakukan anak-anaknya. Bagaimanapun,
setiap manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.
"Setiap anak bertanggung
jawa atas perilakunya. Demikian pula orangtua, bertanggung jawab atas apa yang
telah diusahakannya. "
Wallahu ‘alambishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar