Sedikit
berbagi dari sebuah pengalaman empat tahun lalu, semoga menjadi solusi bagi
para orangtua yang sedang dilema ingin menyekolahkan anaknya ke pesantren namun
mendapati sang anak ‘emoh’ untuk masuk kesana dengan berbagai alasannya. Atau
kehendak suami atau istri berbeda.
Dan
kisahpun dimulai…..
Menyadari
satu tahun lagi anak pertama akan segera menamatkan pendidikannya di SD, saya
segera menggali darinya untuk mengetahui ke sekolah mana dia ingin melanjutkan
pendidikannya. Dan ternyata sekolah pilihannya adalah SMP umum. SMP terbaik
yang ada di kota kami. Sebagai ibu….mendukung dooong apa yang menjadi
pilihannya. Sepanjang pilihan sang anak adalah baik, orangtua mana sih yang
tidak mensupportnya. J
Di
sisi lain, seringkali saya bicara banyak dengan suami tentang harapannya atas
pendidikan anak-anak. Dan ternyata
justru mengharapkan untuk lebih mengarahkan anak-anak belajar di pesantren.
Jadilah kami saat itu saling meyakinkan satu sama lain atas pilihan ke depan
sekolah anak-anak. Bahasa kerennya: kami berdebat bin bertukar fikiran. Maklum,
saya pribadi saat itu lebih memilih untuk mendukung pilihan anak dengan alasan
pendidikan agama bisa diberikan dengan cara lain. Melalui private di rumah,
misalnya. Namun nampaknya, suami sangat ’keukeuh’ dengan keinginannya. Dia
merasa sangat khawatir dengan lingkungan pergaulan anak-anak sekarang.
Disamping, ingin menguatkan pendidikan agama
yang ‘benar’ sedari kecil. Maklum, semakin kesini, aliran-aliran dan
pemahaman agama tambah ‘terseok-seok’. Pemerintah Negara kita sangat tumpul
dalam hal ini. Segala macam pemikiran agama yang ngawur sekalipun dibiarkan
atas dasar HAM. Perbedaan yang sangat tajam danmendasar dalam agama (Ifthiraq)
dibiarkan. Keputusan MUI kadang kurang ‘bergigi’ akibat pemerintah mendukung ‘setengah
hati’, akibatnya masyarakat seringkali mengabaikannya. Bahkan terkadang justru
menentangnya. Menyedihkan sekali. Suami
berharap besar: anak-anak kami memiliki basik agama yang cukup baik sehingga
tidak mudah tergelincir pada pemahaman agama yang salah. Soal nanti mereka akan
menjadi apa, terserah anak-anak. Yang penting, agama menjadi pondasi dasarnya.
Hmmm…alasannya
cukup masuk akal dan bisa dipahami. Jadilah itu sebuah PR besar untuk
menjembatani keinginan yang berbeda: anak dan suami.
Demi
menguatkan langkah, saya seringkali sharing atas hal ini dengan salah seorang sahabat
yang memiliki pendidikan serta memahami psikology anak. Bagaimanapun, saya
tidak ingin anak-anak bersekolah di pesantren dengan amat sangat terpaksa hanya
demi memenuhi keinginan orangtua semata. Rasanya lebih menyenangkan dan
melegakan apabila anak- anak sekolah
dimanapun atas dasar keinginan dan kesadarannya sendiri sehingga mereka bisa ‘enjoy’
dengan lingkungan dan pelajaran yang ada. Belajarpun MENYENANGKAN dan
BERSEMANGAT. Sedangkan bila belajar sudah enggan di awal, maka semangat akan
hilang dan belajarpun akan dirasa sebagai sebuah BEBAN.
Mulailah
dari sana, saya sering mengajak anak untuk bertukar fikiran, berbagi harapan,
dan menanamkan pemahaman tentang pentingnya bersekolah di pendidikan agama, dalam
hal ini pesantren.
Bukan
hal yang mudah bisa mengarahkan pilihan anak yang sudah kadung memiliki sekolah
‘fave’nya sendiri, sekaligus memiliki pandangan agak ‘minor’ tentang pesantren.
Terkadang saya merasa kelimpungan menghadapi tentangan anak. Gaswaat….apa lagi
yang harus saya lakukan?!
Akhirnya, saya berdoa pada Allah agar Dia memberikan kami kemudahan dalam urusan ini. Membalikkan hati anak kami sehingga pesantren menjadi pilihannya sendiri.
Hingga satu hari, saya berbincang dengannya,
Bunda:
Teh, gimana…..sekarang mau khan meneruskan ke pesantren?!
Ananda:
Gimana ya, Teteh bingung. (Teteh adalah nama panggilannya)
Bunda:
Masa? Kemarin ustadz…..(saya menyebutkan nama pimpinan pesantren saat itu) nanyain
Teteh, lho. Mau kemana katanya anak Bunda sekolahnya?
Ananda:
Wah, masa?
(dengan
nada terkejut).
Dia
terdiam sejenak. Mungkin….mungkin yaaa….perkataan saya itu membekas padanya. Nampak
sesaat sanga anak berfikir. Tiba-tiba anak saya berkata,
Ananda:
Iya deh Bunda, Teteh mau sekolah di pesantren.
Bunda:
Wah….benar, Teh. Benar, nih?
Ananda:
Benar, Bunda. Teteh mau sekolah di pesantren.
Subhanallaaah…..sekarang
justru saya yang balik terkejut dengan jawaban anak. Hanya dalam hitungan
menit, pilihannya bisa berubah banyak. Peristiwa ini terjadi (kalau tidak
salah) satu bulan jelang pendaftaran. Lega rasanya. Alhamdulillah….masa debat
berlalu sudah.
Saat itu, benar-benar saya rasakan tangan kuasa Allah berbicara banyak. Bila bukan Allah yang memudahkan semuanya, rasanya akan sulit membimbing dan mengarahkan anak. DOA, ternyata menjawab banyak setiap kesulitan.
Shalihaat,
pengalaman ini memberikan penguatan pelajaran hidup:
selalu
sempurnakanlah usaha kita dalam mendidik anak dengan DOA. Doa akan menjawab banyak
setiap kesulitan-kesulitan yang kita hadapi.
Bila
bagi kita terasa sulit, maka tak ada yang sulit bagi Allah,
Bila
bagi kita terasa berat,maka tidak ada yang berat bagi Allah,
Bila
bagi kita terasa tak mungkin, maka tak ada yang tak mungkin bagi Allah.
Dia
menggenggam hati setiap hamba-Nya, maka kepada Dia-lah kita meminta. Hanya
Dia-lah yang berkuasa untuk membolak-balikkan hati.
يَـــامُـقَلِّبَ
الْـقُلُـــــــــــوْبِ، ثَـبِّتْ قَـلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
“Wahai Rabb yang
membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu.” (H.R.
At-Tirmidzi, Ahmad, dan al-Hakim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar