Di
tahun 1992-an pernah mendapati sebuah keluarga yang memutuskan diri untuk tidak
menyediakan televisi di rumahnya dengan alasan karena banyaknya tayangan acara
tv yang kurang mendidik. Selepas menikah dan memiliki tiga orang anak, hal yang
sama kembali saya dapatkan dari salah seorang teman sewaktu kuliah dulu. Saya
fikir: kok bisa, ya?! Tidak terbayangkan suasana rumah tanpa televisi, pasti
sepi.
Selalu
merasa salut, dengan keputusan sesiapapun untuk meniadakan televisi di rumah yang
berseberangan dengan hampir kebiasaan banyak orang. Terus terang, saya sendiri
belum bisa melakukannya kala itu walau keinginan untuk itu ada. Hanya tidak
kebayang saja....bagaimana caranya dan kapan
harus memulai. Soalnya, jangankan anak-anak, diri sendiri saja masih
suka nonton televisi sekalipun menyadari banyak menonton televisi dengan
melakukan pendampingan aktif pada anakpun, ah rasanya tetap saja pengaruh itu
jelas terasa pada mereka.
Tak
dinyana, apa yang dahulu hanya sekedar keinginan, ternyata kejadian. Allah
mempermudah harapan untuk meniadakan televisi di rumah. Sekitar tahun 2012 yang
lalu, satu atau dua bulan setelah Idhul Fitri, tiba-tiba televisi di rumah rusak
tidak menyala. Waaahhh...alamat harus diservice, nih. Satu minggu, satu bulan berlalu....televisi
tak kunjung juga diperbaiki suami. Dan aku sendiri, entahlah...rasanya malas
sekali mengurusnya, soalnya ini sudah rusak yang kedua kali. Anak-anak pun
mulai protes, merengek karena tidak ada hiburan di rumah.
Si
sulung cerita, dia merasa kudet alias “kurang up-date” dibanding teman-temannya
sejak tak ada tv di rumah. Saat temannya cerita ini itu tentang acara tv, dia
katanya hanya bisa menjadi pendengar. Lain waktu, datang merajuk dengan
mengatakan ingin melihat acara islami tv seperti acara “khazanah” yang banyak memberikan
informasi keislaman yang diamini oleh adik-adiknya. Bahkan anak laki-lakiku
jadi sering nonton tv di rumah tetangga. Apalagi kalau Persib sedang
bertanding, dia fans berat. Dilarang gimana, gak dilarang malu rasanya sama
tetangga. Saya sendiri pun kadang masih memiliki keinginan untuk bisa sesekali
melihat acara tv. Apalagi kalau sudah membayangkan, sore-sore ketika pekerjaan
di rumah selesai, terus lihat acara kartun....waaah senang kayaknya. Walaupun
sudah ibu-ibu, film kartun tuh tetap acara favorit. Hehehe.....
Ujian
kedua pun berlaku. Pernah tuh, dua tahun dari sana, kami –saya dan anak-anak-
sampai jalan-jalan ke toko elektronik hanya sekedar lihat-lihat harga tv.
Harapan, siapa tahu ada barang yang bagus dan harganya ramah di saku. Untungnya
-sesuatu yang saya syukuri di kemudian hari- suami sama sekali tak bergeming
dengan rajukan anak-istrinya. Wajahnya tuh ya....lempeeeng banget saat aku
cerita ini-itu soal tv. Waahh...alamat benar-benar gak akan bisa beli tv, nih.
Ya
sudahlah....sebagai jubir suami yang baik (ciiieeee....) aku berusaha
menerjemahkan sikap diamnya suami sebagai sebuah pesan bagi semua: NO TV di
rumah. Aku kuatkan kembali niatku sendiri, kusamakan langkah dengan keinginan
si “Cinta”, agar aku bisa menguatkan anak-anakku dan terus memberikan pengertian
kepada mereka bahwa tanpa tv, kita semua akan baik-baik saja. Bahwa justru
tanpa tv, ada banyak waktu yang bisa dipergunakan untuk hal lainnya yang lebih
bermanfaat, lebih banyak waktu untuk kumpul dengan keluarga, belajar, tadarus
al-Qur’an, dll.
Dan
kini empat tahun berlalu (sejak tahun 2012), masa kami menyesuaikan diri tanpa
tv di rumah telah dilalui. Kini, ketika aku bertanya pada anak-anak: lebih
nyaman mana ada tv di rumah atau tidak ada tv, maka mereka akan serempak
menjawab: lebih baik tidak ada tv. Alhamdulillah.
Shalihaat...pengalaman
ini saya bagikan, bukanlah bermaksud untuk menunjukkan bahwa kami bisa tanpa tv
di rumah. Namun lebih kepada, bagaimana Allah telah menolong kami sekeluarga, mendidik
kami, menguatkan hati kami untuk melepaskan diri dari ketergantungan akan televisi.
Allah tahu, bila kami sengaja meniadakan tv itu akan sulit, dan tentu protes
anak-anak pun akan lebih keras lagi. Dan saya dan suami sendiri pun belum tentu
bisa sekuat ini menyesuaikan diri dan membulatkan azam (tekad) untuk meniadakan
televisi di rumah.
Manusia
penuh keterbatasan. Dan saat mereka memiliki harapan serta keinginan baik,
namun tidak tahu harus dari mana dan bagaimana caranya untuk memulai, maka
Allah akan membantu dengan cara-Nya yang tak pernah disangka-sangka. Seluruh
keadaan kita, akan Dia atur hingga akhirnya kita bisa menyesuaikan diri
dengannya, dan terbiasa. Hanya satu yang perlu kita miliki: prasangka baik.
Cara
Allah menolong hamba-Nya tidak melulu dengan seuatu yang serba mudah dengan
fasilitas yang serba ada. Melalui kesempitan, kesulitan, keterbatasan....justru
keberhasilan kerap bekerja lebih baik. Asal satu syaratnya kita penuhi: adanya
prasangka baik pada-Nya.
Hikmah
dari setiap peristiwa, tidak selalu kita sadari di awal-awal perjuangan. Namun
boleh jadi setelah berbilang bulan atau tahun barulah kita menyadarinya. Demikianlah,
bentuk kasih sayang Allah kepada semua hamba-Nya. Kebaikan tidak identik dengan
adanya sesuatu. Tiadanyapun bisa
menghadirkan banyak kebaikan. Secara materi, memang kami kehilangan sebuah
televisi. Namun saat Allah mengambilnya kembali, Dia menggantikannya dengan
sesuatu yang lebih baik, yaitu anak-anak bisa fokus belajar, tak ada sinetron,
tak ada infotainment, hemat biaya listrik bulanan, memiliki waktu lebih banyak
untuk membaca al-Qur’an atau buku-buku, bahkan sekarang bisa menyempatkan diri
untuk membuat tulisan, dll.
Shalihaat,
berhasil melepaskan diri dari ketergantungan acara televisi telah membuat
kehidupan kami lebih baik. Hidup tanpa tv sama sekali tidak lantas membuat
dunia kami menjadi sepi, apalagi “kudet” berita dan informasi. Terlalu
berlebihan. Karena buktinya, sampai sekarang kami sehat, baik-baik saja dan
tetap bisa mengikuti apapun perkembangan dunia yang terjadi di luar sana.
Salam
bahagia, semoga pengalaman yang kami bagikan ini bermanfaat, dan menularkan semangat
bagi Shalihaat yang juga berniat untuk melakukan hal yang sama; NO TV, NO
PROBLEM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar