Berdiam
diri di rumah bagi seorang perempuan adalah lebih baik. Jihad utama kita khan
ada di sana. Banyak pekerjaan ibu rumah tangga yang harus kita selesaikan,
dari mulai sapu-sapu hingga cuci baju.
Dari mulai bagian dalam sampai halaman depan. Pereteli tugasnya satu-satu dan
kita kerjakan sebaik mungkin...habis tuh
waktu kita untuk urusan pekerjaan rumah tangga. Dan satu yang jangan
dilupa...semua itu kita lakukan setiap hari tanpa terkecuali. Bila anak-anak
kita sudah besar masih mending ada yang bantu, bayangkan apabila anak-anak kita
lagi imut-imut bin lucu-lucunya....alamaaak, tantangan pekerjaannya jangan
ditanya lagi.
Cerita
bagaimana anak-anak diikutsertakan hampir pada setiap aktifitas ibunya sudah
tak asing lagi. Di rumah sama anak, ke pasar bawa anak, ke pengajian gendong
anak, jalan-jalan...so pastilah bersama anak.
Yang
lebih luar biasa lagi, malam yang seharusnya untuk beristirahat, bagi sebagian
ibu-ibu justru dipergunakan untuk mencuci baju. Bagi yang mempunyai mesin cuci
cukup membantu, hemat tenaga, hemat waktu. Pagi-pagi tinggal dijemur pakaian
yang telah dikeringkan semalam. Namun bagi mereka yang belum memilikinya,
mencuci secara manual ya tetap dilakoni juga. Hal ini dilakukan bukan karena
alasan malas mengerjakannya pagi-pagi. Namun, bila semua pekerjaan bertumpu di
pagi hari...pasti ada yang keteteran. Urus anak, urus suami, mesti urus rumah pula.
Waktu
yang demikian padat dengan kondisi
anak-anak yang masih kecil tanpa ada khadimah (pembantu), biasanya amat
menyulitkan seorang ibu untuk bisa memiliki aktifitas lain di luar rumah.
Fikiran dan tenaga amat banyak terkuras untuk urusan rumah tangga. Cape???
Jangan ditanya lagi. Mana ada sih pekerjaan yang tidak cape. Lha wong yang
pengangguran juga sebenarnya dia tetap cape dengan kepenganggurannya. Bukan
begitu?!
Di
awal pernikahan dengan anak-anak yang masih kecil adalah masa perjuangan paling
berat dalam ukuran pekerjaan rumah tangga. Karena dimasa ini biasanya:
Pengalaman
berumah tangga masih minim;
Anak-anak
masih sangat bergantung dan membutuhkan perhatian besar;
Masa
beradaptasi dengan pasangan;
Ada
keinginan yang harus kita tahan hingga anak besar;
Sulitnya
memiliki waktu me time dll.
Beratnya
perjuangan seorang ibu di awal pernikahan, apalagi yang berprofesi sebagai
pegawai, kerap mengakibatkan sebagian diantaranya mengambil jalan keluar yang
dianggapnya terbaik tapi sebenarnya
adalah keadaan yang memprihatinkan. Sah-sah saja seseorang melakukannya, namun
apakah tidak sebaiknya difikirkan ulang kembali keputusan dan tindakan yang selama
ini kita anggap benar. Dasar pertimbangannya sederhana saja: rasa tanggung
jawab. Ketika dua orang manusia sudah memutuskan diri untuk menikah dan menjadi
sepasang suami istri, pada saat yang bersamaan harus sudah menyediakan dirinya
untuk mengambil seluruh konsekuensi dari status barunya sebagai suami-istri dan
terus belajar mendewasakan dirinya.
Hal
ini perlu disadari, agar saat berumah tangga kita belajar menunjukkan sikap
mandiri, bertanggung jawab, dan tidak kolokan pada orangtua. Banyak kita
perhatikan, iramanya telah berkeluarga, namun nadanya masih seperti anak
perawan dan bujang yang selalu menyanyikan lagu “mama-papa”.
Tidak
salah, karena sebenarnya selamanya kita akan terus sebagai anak dalam mata kedua
orangtua kita kendatipun kita telah berkeluarga, namun tentu saja menjaga diri
dari sikap terus meminta perhatian, patutlah diperhatikan. Bagaimanapun,
bersedia menikah artinya bersedia untuk memulai kehidupan baru dan berdiri di
atas kaki sendiri. Dengan demikian, ada dua sikap yang sebaiknya dihindari sebagai
bentuk sayang kita pada orangtua:
Hindari
meminta bantuan orangtua untuk mengasuh anak kita
Bila
bukan sebab ber-KB atau memang sudah dari sananya berbadan gemuk, para ibu muda
biasanya cenderung kecil, bila tidak dikatakan kurus. Beban pekerjaan rumah
tangga sudah cukup menguras waktu, tenaga, dan energinya. Apalagi bagi para
istri yang bekerja di luar rumah... lengkap sudah perjuangannya.
Seorang
wanita berkeluarga diperbolehkan untuk bekerja di luar rumah sepanjang mendapat
ijin dari suami. Namun hal ini biasanya berdampak juga pada keterbatasan
kemampuannya dalam mengurus anak-anak dan mengelola rumah tangga. Waktu,
tenaga, perhatian, dll yang terbagi, akhirnya menghadapkannya pada kebutuhan
akan hadirnya seseorang yang bisa membantu. Tak mengapa apabila kemudian mampu
mengambil seorang khadimah dan menggajinya. Namun bila tidak, siapakah sosok
yang pertama kali terfikir oleh kita untuk dimintai bantuannya? Tepat.....pasti
dia adalah ibu.
Siapa
sih ibunya yang akan menolak permintaan anaknya saat kehadirannya dibutuhkan? Tidak akan ada.
Seorang ibu akan rela hati melakukan apapun demi kebahagiaan anaknya. Tanpa
meminta imbalan sedikitpun. Hanya tegakah kita melakukan itu dengan meminta
pengorbanan besar kedua darinya untuk bisa merawat, menjaga anak-anak kita yang
adalah cucunya, setelah sebelumnya orangtua kita telah melahirkan, merawat,
membesarkan, menjaga, mengurus, dan membiayai kita hingga bisa seperti sekarang
ini?
Tegakah
kita membiarkan orangtua kita yang semakin sepuh kembali disibukkan mengurus
cucunya dan bukan menikmati masa tuanya?
Shalihaat,
membawa orangtua pada posisi yang mengharuskan mereka untuk mengasuh, menjaga,
dan merawat anak kita adalah sebuah sikap ketidakpekaan. Sekalipun kita percaya
bahwa seorang nenek akan berbesar hati merawat cucunya (semoga Allah
melimpahkan pahala yang banyak baginya, Aamyn), namun pada dasarnya harapan
semua orang sama: mendapatkan apa yang menjadi haknya. Hak orangtua adalah
mendapatkan masa tuanya tanpa beban tambahan yang diberikan anak-anaknya. Hak
mereka adalah kewajiban bagi kita untuk memenuhinya.
Pilihan
yang sulit memang. Di satu sisi butuh pekerjaan untuk menjaga asap dapur tetap
mengepul di rumah. Di sisi lain ingin menunjukkan sebagai anak yang berbakti
dan sayang pada orangtua. Hidup ini pilihan, Shalihaat. Dan sebaik-baik pilihan
adalah dimana kita adalah orang yang pertama
kali menunjukkan sikap berkorban bagi kebaikan keluarga dan semua.
Carilah jalan lain selain menjadikan orangtua sendiri sebagai babby sitter bagi anak-anak kita. Jadilah orangtua yang
matang dan mau belajar berjuang. Saling bahu membahu dan berpegangan tanganlah
dengan pasangan untuk dapat mengatasi setiap
permasalahan di rumah tanpa banyak bergantung kepada orangtua.
Pilihan
solusi selalu ada bila kita mau berdamai dengan keadaan:
Mengambil
khadimah yang artinya kita harus mampu menggajinya setiap
bulan.
Menunda
keinginan sementara waktu untuk bekerja sampai anak-anak
cukup besar, yang artinya memastikan anak-anak tidak bergantung banyak kepada
kita sehingga waktu kita bisa lebih luang. Dalam keadaan seperti ini, sikap
qana’ah/merasa cukup sangat membantu menguatkan hati.
Membuka
usaha sendiri sehingga tetap berpenghasilan dan
keluarga tetap mendapat perhatian. Pengaturan
waktu bisa lebih fleksibel, menyesuaikan dengan kondisi kebutuhan keluarga.
Kapan kita bekerja fokus pada usaha, kapan keluarga harus didahulukan.
Shalihaat,
tidak ada seorang pun yang mengatakan ini mudah memang, namun pantas untuk
difikirkan apabila kita sayang pada orangtua. Sekali keputusan diambil, jalani
dan nikmati.
Hindari
selalu curhat pada orangtua
Kekhilafan
lainnya pada orangtua adalah menjejali telinga orangtua kita dengan aneka masalah
rumah tangga. Pliiiss....ada saat memang kita membutuhkan nasihat dan saran
dari orangtua kita, namun jangan pernah membiasakan setiap masalah pasti dibicarakan.
Banyak berkeluh diibaratkan kita telah memberikan sampah-sampah fikiran kepadanya,
mentransfer energi negatif yang mengganggu perasaannya. Jangan disangka sedih
dan sakitnya orangtua adalah sama seperti yang kita rasakan. Sedih dan sakit
hati mereka bisa dua kali lipat lebih besar dari kita. Maka jangan heran,
apabila ada seorang anak curhat tentang perilaku kurang baik pasangannya, setelah
masalah selesai dan sang anak kembali akur dengan suaminya, namun hati sang ibu
tak demikian adanya.
Belajarlah
untuk bisa mengatasi sendiri setiap masalah dalam rumah tangga. Pastikan hanya
kebaikan-kebaikan rumah tangga yang lebih banyak kita sampaikan kepadanya. Jaga
fikiran dan perasaannya agar tetap nyaman dan senang. Sebelum daya kemampuan
dikerahkan, pantang untuk mudah meminta bantuan. Lakukan apa yang seharusnya
dilakukan oleh sepasang suami istri yang dewasa, selebihnya berdoalah sebagai
sandaran kuat kita.
Tak
elok pula ketika masalah besar datang, ujung-ujungnya pulang ke rumah orangtua
dengan seabreg pakaian. Sekali dua kali masih bisa ditolerir...namanya juga
rumah tangga baru. Lama-lama ya akal harus diajak bicara, masa iya sih mau
dijadikan kebiasaan. Susah-senang, akur-bertengkar....ya tetap dalam satu atap.
Kerucutkan masalah hanya ada dalam rumah kita agar mudah mencari jalan keluar.
Sekali kita bawa keluar, jangan pernah berharap masalah tak melebar.
Suami-istri
dengan tanggung jawab di pundak sebagai seorang ayah dan ibu, sudah
selayaknyalah terus belajar untuk memperbaiki sikap menghadapi masalah dan
terus belajar untuk pandai menata hati. Ambillah pelajaran berharga dari setiap
ujian dan cobaan yang datang dalam rumah tangga kita. Bawa hikmahnya sebagai
pijakan kuat menghadapi masalah lain di depan sana. Sebenarnyalah, Allah
memberi kita masalah bukanlah untuk melemahkan daya kemampuan kita, membuat
menderita, namun justru untuk semakin menguatkan potensi terbaik yang ada pada
diri kita dan memunculkan kebaikan-kebaikan lain yang masih tersembunyi di
dalamnya.
Masalah
yang sama kadang berulang kali datang. Tapi sikap kita menghadapinya belum
tentu sama. Bisa lebih baik atau sebaliknya, bergantung dari kemampuan kita
menangkap danmenerima setiap pelajaran yang Allah berikan di Sekolah Kehidupan.
Shalihaat,
semoga kita termasuk golongan manusia yang selalu istiqamah memperbaiki
dirinya, terus semangat belajar agar semakin mengenal diri sehingga bisa lebih mengenal Tuhannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar