Pada
suatu hari di tengah padang pasir nan tandus, ada seorang lelaki Badui tengah
tegang menunggu kelahiran putranya. Kontraksi dan rintihan sang istri membuat
suami semakin tak karuan menanti lahirnya sang buah hati. Namun, ketika
tangisan bayi menyeruak, sang Arab Badui mengamati anaknya dengan pandangan
penuh keanehan.
Dia
mengamati anaknya, kemudian melihat dirinya dan istrinya yang masih tergolek
lemah. Ternyata sang anak yang dilahirkan berkulit hitam, sedangkan dirinya dan
istrinya sama-sama putih. Pada saat itulah syetan membisikinya dengan
tuduhan-tuduhan yang jelek terhadap istrinya sendiri, "Jangan-jangan
istrimu telah selingkuh dengan lelaki berkulit hitam, lalu keluarlah anak dari
benihnya. "
Akhirnya
sang suami yang tengah kebingungan mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah
saw.
Di
hadapan Rasulullah saw ia berkata, "Wahai Rasulullah, lihatlah anakku! Dia
hitam, sedangkan tidak ada dari saya maupun istri yang berkulit hitam. Lalu,
dia dari mana?"
Menghadapi
masalah tersebut, Rasulullah saw mencoba menyamakan persepsi dan mengajari
lelaki itu untuk mengemukakan jawaban masalahnya dari hasil pemikiran sendiri.
Rasul pun memperhatikan dan mengetahui bahwa orang Arab Badui itu adalah
seorang penggembala kambing dan unta. Maka beliaupun memberikan permisalan
dengan hewan yang sudah akrab dengan pekerjaan keseharian orang Arab Badui
tersebut.
Rasulullah
saw bertanya, "Apakah engkau mempunyai banyak unta?". Sang Arab Badui
mengiyakan.
"Apa
warnanya?" Tanya Rasulullah saw.
"Kemerahan"
Jawab Arab Badui.
"Apakah
ada yang berwarna hitam? " Tanya Rasul kembali.
"Tidak.
" Jawabnya.
"Kalau
abu-abu?" Tanya Rasul.
"Ya,
ada. " Jawab si Badui.
"Lho,
dari mana datangnya si abu-abu padahal warna kawan untamu yang jantan dan
betina semuanya berwarna kemerahan? " Tanya Rasul.
Maka
sang Arab Badui berfikir sejenak mencari jawaban. "Mungkin saja ada nenek
moyangnya yang berwarna abu-abu, akhirnya menurun gen warnanya kepada untaku
karena masih ada garis keturunan."
Rasulullah
pun menutup pembicaraan ini dan berkata, "Kemungkinan juga, ada di antara
leluhur bayimu yang berwarna hitam sehingga warna kulitnya menurun kepada
anakmu. "
Si
Arab Badui berfikir sejenak, dan dia mendapati bahwa jawaban masalahnya persis
seperti apa yang dia utarakan kepada Rasulullah mengenai untanya. Diapun pergi
menemui istrinya dan dengan yakin berkata bahwa bayi yang berkulit hitam itu
adalah anaknya.
Pelajaran
yang bisa diambil
Bergaul
dengan sesama ternyata memerlukan seni. Ketika kita memberikan nasihat atau
hendak meluruskan sebuah kesalahan, maka kita harus menyamakan persepsi
terlebih dahulu.
Barangkali
sementara orang berdalih, bukankah nasihat itu seperti obat, yang walaupun
pahit harus tetap ditelan?! Bukankah nasihat harus disampaikan walaupun pahit
didengar?!
Benar,
Hanya saja, bukankah nasihat pun disampaikan supaya diterima dan agar kesalahan tidak berlanjut.
Jika kita bisa melakukannya dengan obat yang terasa manis, semisal madu,
mengapa pula kita harus memilih obat yang rasanya pahit?!
(Sumber: majalah
"al-Mawaddah" dengan beberapa penyesuaian)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar