PENYEBAB
KEMARAHAN
Penyebab kemarahan sangat banyak dan bervariasi, diantaranya: sikap sombong,
merasa tinggi hati, membanggakan diri, menghina orang lain, banyak bercanda,
suka berdebat, melakukan perkara-perkara yang sebenarnya kurang bermanfaat,
ambisi untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang lebih.
JENIS
MARAH
Sekalipun kemarahan
cenderung akan membawa pada keburukan, namun demikian tidak semua kemarahan itu
terlarang. Oleh karenanya, ada beberapa jenis kemarahan yang patut untuk
diketahui, diantaranya adalah:
Marah
yang terpuji
(wajib/sunnah)
Sifat marah yang terpuji
ialah marah yang diluapkan karena membela kebenaran dan agama, dan marah karena
mencegah kemungkaran dan perkara-perkara haram. Kemarahan ini merupakan buah dari keimanan, misalnya:
- Marah ketika hukum-hukum Allah dilanggar
Rasulullah
saw pernah marah kepada Usamah bin Zaid saat diketahui bahwa Usamah bin Zaid telah
membunuh lawannya dalam sebuah perang di saat lawannya tersebut dalam posisi
terjepit telah mengucapkan kalimat “Laa ilaaha illallah”. Usamah bin
Zaid membela diri dengan mengatakan bahwa boleh
jadi lawannya tersebut mengucapkan kalimat tersebut dikarenakan
takut/terjepit. Rasulullah marah dan mengatakan ”Mengapa kamu melakukan itu
ketika seseorang telah masuk mengakui keesaan Allah?”. Rasulullah saw tetap
menyampaikan itu setiap kali Usamah terus membela dirinya, hingga kemudian
Usamah diam dan akhirnya merasa seperti seseorang yang baru saja masuk Islam.
-
Marah ketika saudara seiman dihina/dibunuh
-
Marah ketika nyawa/harta diambil.
Marah
yang tercela
(makruh/haram)
Sementara marah yang tercela ialah marah pada
jalan yang salah, yang dinyalakan oleh kesombongan dan keangkuhan. Marah yang disebabkan oleh hawa nafsu atau
fanatisme kelompok.
Marah yang mubah, yaitu marah yang bukan karena
Allah.
Rasulullah saw tidak pernah marah apabila yang
dihina itu adalah pribadi beliau.
TINGKATAN
MANUSIA DALAM MARAH
Perlu diketahui bahwa
setiap manusia tidaklah sama dalam menanggapi kemarahan. Dan tingkatan
kemarahan manusia terbagi atas tiga golongan, yaitu:
Tafrit (acuh tak acuh atau hilang kemarahannya)
Golongan ini adalah tercela sekali. Orang yang
memiliki sifat sedemikian dapat digolongkan kepada orang yang tidak memiliki
sikap pembelaan (hamiyyah) sama sekali. Ia tidak ingin mempertahankan
kehormatan dirinya, isterinya, keluarganya, serta apa saja yang merupakan
haknya, lebih-lebih yang berhubungan dengan agama. Ia merasa rendah diri dan kecil.
Itulah mengapa sifat ini sangat tercela sekali, sebab buahnya yang paling buruk
salah satunya ialah ketiadaan rasa cemburu pada kehormatan rumah tangga. Oleh
sebab itu ada yang mengatakan: Setiap bangsa yang masih ada perasaan cemburu di
kalangan kaum lelakinya, maka pasti akan terpeliharalah kaum wanitanya dengan
baik.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Sa’ad
adalah orang yang sangat pencemburu dan saya (Nabi saw) adalah lebih sangat
cemburunya daripada Sa’ad. Sedangkan Allah lebih cemburu lagi daripada saya
(yakni jikalau melihat hamba-Nya hendak berbuat maksiat). “ (HR. Bukhari)
Ifrath (berlebih-lebihan kemarahannya)
Golongan in adalah kebalikan dari tafrit. Golongan ini berlebih-lebihan
dan tanpa mengenal batas dan ketentuan dalam hal marah.Dalam bahasa lain
dikatakan sebagai manusia yang temperamental. Jadi ifrath ini selalu
berusaha memenangkan amarahnya sehingga dia keluar dari kecerdasan akalnya,
tuntunan agamanya, dan menjauhkannya dari ketaatan agamanya. Hal ini diakibatkan oleh kemarahannya
menutupi dirinya untuk berfikir jernih dan suci, pandangannya amat picik, dan
terbatas.
I’tidal (mampu mengendalikan kemarahannya/pertengahan)
Kehilangan sifat marah adalah tercela, sedang
berlebih-lebihan tanpa mengenal bataspun sama berbahayanya. Jadi yang terbaik
adalah sikap pertengahan, yaitu adanya
sifat marah senantiasa disalurkan dengan mengikuti tuntunan yang ditentukan
oleh fikiran dan isyarat-isyarat dalam agama.
Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik perkara itu
ialah yang pertengahan. “ (HR. Baihaqi)
CARA
MENGENDALIKAN KEMARAHAN
Secara lahir
1. Membaca ta’awudz
ketika marah
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ
حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ حَدَّثَنِي عَدِيُّ بْنُ ثَابِتٍ
قَالَ سَمِعْتُ سُلَيْمَانَ بْنَ صُرَدٍ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اسْتَبَّ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ أَحَدُهُمَا فَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى
انْتَفَخَ وَجْهُهُ وَتَغَيَّرَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ الَّذِي
يَجِدُ فَانْطَلَقَ إِلَيْهِ الرَّجُلُ فَأَخْبَرَهُ بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ تَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ
فَقَالَ أَتُرَى بِي بَأْسٌ أَمَجْنُونٌ أَنَا اذْهَبْ
Telah menceritakan kepada kami
Umar bin Hafsh telah menceritakan kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada
kami Al A’masy dia berkata; telah menceritakan kepadaku ‘Adi bin Tsabit dia
berkata; saya mendengar Sulaiman bin Shurd –seorang dari sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam- dia berkata; Dua orang laki-laki saling mencaci
maki di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ternyata salah seorang di
antara keduanya sangat marah hingga mukanya berubah menjadi merah. Lalu
Rasulullah bersabda: ‘Sungguh aku mengetahui satu kalimat yang seandainya
diucapkan, maka marahnya akan hilang. Lalu orang yang mendengar ucapan beliau
beranjak pergi dan mengabarkan kepadanya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, katanya; Berlindunglah kepada Allah dari Syetan. Laki-laki yang marah
tersebut berkata; ‘Apakah kamu menganggap saya ada masalah, sudah gilakah saya,
pergilah! (HR. Bukhari)
2. Mengubah posisi ketika marah
Apabila dengan ta’awudz kemarahan belum
juga hilang, maka disyari’atkan dengan duduk. Imam Ahmad dan Abu Dawud
meriwayatkan hadits dari Abu dzar ra bahwa Nabi saw bersabda, “Apabila salah
seorang di antara kalian marah dalam keadaan berdiri, duduklah. Jika belum
hilang, maka berbaringlah. “ (HR. Ahmad). Hal ini karena marah dalam
keadaan berdiri lebih besar kemungkinannya melakukan kejelekan dan kerusakan
daripada dalam keadaan duduk. Sedangkan berbaring lebih jauh lagi dari duduk
dan berdiri.
3. Diam
Diam tidak bicara ketika marah adalah obat
mujarab untuk menghilangkan kemarahan, karena banyak bicara dalam keadaan marah
tidak bisa terkontrol sehingga akan jatuh pada pembicaraan yang tercela dan
membahayakan dirinya dan orang lain. Dalam salah satu hadits disebutkan,
Rasulullah saw bersabda:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
"Barang siapa beriman kepada
Allah dan hari akhir, hendaknya dia berkata dengan baik atau diam."
(HR Bukhari)
Pada hadits yang lain disebutkan, dimana
Rasulullah saw bersabda, “Ajarilah, permudahlah, dan jangan menyusahkan.
Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam. “ (HR. Ahmad (I/239,
dishahihkan oleh al-Albani dalam kitabnya “ash-Shahiihah” (1375)
4. Berwudlu
Disunnahkan bagi orang yang sedang marah untuk
segera mengambil wudlu dengan menggunakan air dingin. Ini adalah mengikuti apa
yang diajarkan oleh Rasulullah saw, sebabnya ialah bahwa kemarahan itu berasal
dari syetan.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya
marah itu dari syetan dan syetan itu diciptakan dari api, dan api itu diredam
dengan air. Maka apabila diantara kalian marah, berwudlulah. “ (HR. Ahmad)
Secara ilmu
Imam al-Ghazali
mengatakan ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengendalikan kemarahan,
diantaranya:
a. Hendaklah
memikirkan secara mendalam keterangan-keterangan agama yang menguraikan tentang
keutamaan menahan amarah, keutamaan berlaku sabar, keutamaan memberikan maaf,
dll.
b. Hendaklah
mengingat-ingat dirinya akan siksaan dari Allah swt apabila dia meneruskan
kemarahannya. Baik pula direnungkan apakah kelak dia dapat menghindarkan diri
dari kemurkaan Allah swt, padahal sudah pasti nanti ia sendiri memerlukan pengampunan dan
pertolongan dari-Nya. Jadi, mengapa ia harus berat memaafkan sesama yang
mungkin tanpa sengaja berbuat kesalahan
padanya.
c. Hendaklah
mengingat-ingat dirinya sendiri akibat permusuhan dan balas dendam serta tipu
daya orang yang dilawannya itu. Bagaimana jika kemudian orang yang dilawannya
itu hendak membalas dengan cara yang lebih buruk lagi? Jadi seyogyanya hatinya
sendiri diingatkan akan akibat kemarahan yang akan dihadapinya sendiri.
d. Hendaklah
mengingat-ingat betapa buruk rupanya, betapa jelek bentuk badannya di waktu
kita sedang marah. Ini tentulah dapat
dibayangkan ketika kita melihat orang lain yang sedang marah.
Serupakanlah pula halnya orang yang penyantun dan penyabar, yang tenang, yang
tidak suka marah yang tidak pada tempatnya. Itulah perilaku para nabi, para
rasul, para wali, para ulama, dan para cerdik serta bijaksana. Manakah di antara keduanya yang akan kita
pilih?
e. Hendaknya
memikirkan pula bahwa kemarahan yang diperturutkan akan mengajaknya pada sikap
ingin membalas dendam, atau keinginan untuk terus marah. Hal ini akan
memperlemah dirinya dan dipandang rendah oleh masyarakat sekitar.
Hal lainnya yang
perlu diingat adalah:
a. Jangan marah
kecuali karena Allah, karena niscaya hal itu akan menjadi hal yang disukai, dan
pelakunya akan mendapatkan pahala, seperti jihad fi sabilillah yang
merupakan bentuk kemarahan karena Allah.
b.
Tidak marah karena urusan dunia.
Hindari
marah karena urusan dunia yang tidak mendatangkan pahala. Nabi saw tidak pernah
marah karena dirinya, kecuali beliau marah karena Allah swt. Karena
sesungguhnya semua kemarahan itu buruk, kecuali kemarahan karena Allah.
Sebagaimana yang kita kerahui bahwa kemarahan akan mendorong manusia untuk
berbuat buruk, berselisih, memukul, menghina,
bahkan sampai memutuskan hubungan silaturahim.
c.
Melatih jiwa dengan akhlak terpuji seperti: sabar, lemah-lembut, tidak
tergesa-gesa dalam segala hal, dll.
Demikianlah beberapa cara untuk mengatasi
kemarahan agar tetap terkontrol. Sekiranya kemarahan itu sudah dapat dipadamkan,
maka niatkanlah dalam hati bahwa hal itu semata-mata untuk mendapat ridho Allah
swt semata.
Wallahu’alam bish shawab.
****
Referensi:
Ensiklopedia Pengetahuan
Al-Qur’an dan Hadits, Tim Baitul Kilmah Jogjakarta – Jakarta:
Kamil Pustaka, 2013
Ensiklopedi Adab
Islam Menurut al-Qur’an dan as-sunnah
Mau’izhatul
Mukminin, Muhammad Jamaludin al-Qasimi ad-Dimasyqi,
al_maktabah at-Tijjariyyah al-Kubro, (tidak bertahun)
Al-Wafi Menyelami
Makna 40 Hadits Rasulullah SAW, Dr.Musthafa Dieb
al-Bugha & Muhyiddin Mistu: al-I’tishom Cahaya Umat, 2005
Rahasia Hidup
Sukses Menurut Islam dan Barat, Syekh Muhammad
al-Ghazali, al-jannah Pustaka, 2004